Pro Kontra Spesialisasi Dokter Layanan Primer

Penolakan program pendidikan spesialisasi baru Dokter Layanan Primer (DLP) oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di beberapa provinsi belakangan ini,

Editor: BPost Online
BPost Cetak
Pribakti B - Dokter RSUD Ulin Banjarmasin 

Oleh: Pribakti B
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Penolakan program pendidikan spesialisasi baru Dokter Layanan Primer (DLP) oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di beberapa provinsi belakangan ini, menarik untuk dibahas. Pokok permasalahannya karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), 7 Desember 2015, menolak seluruh gugatan Persatuan Dokter Umum Indonesia yang didukung oleh IDI.

Penggugat kalah dan Undang-undang Nomor 20 tentang Pendidikan Kedokteran Tahun 2013 segera diberlakukan. Artinya, program pendidikan DLP harus dijalankan.

Di akhir putusan, Hakim Konstitusi membacakan Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Ini peringatan yang cukup keras, siapapun yang menolak program pendidikan DLP berarti melanggar hak hidup rakyat.

Pada kenyataannya kalau kita runtut variabel yang membuat seseorang menjadi sakit atau sembuh dari penyakit sangat banyak. Ada variabel fisik atau biologis, ada variabel mental psikologis, ada variabel sosial, dan juga variabel lingkungan. Tidak mungkin seorang dokter dapat menguasai semua variabel itu.

Ketika seorang dokter ingin menguasai hanya satu atau dua variabel saja, tumbuhlah spesialisasi. Kemudian dia akan mendalami dan mengembangkan ilmu di bidang yang diminatinya itu semakin dalam dan semakin jauh.Teknologi pun kemudian mengikutinya. Jadi jelas, pada dasarnya, spesialisasi kedokteran tumbuh karena tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi, perubahan kehidupan manusia.

Spesialisasi kedokteran sebenarnya bertujuan meningkatkan ilmu pengetahuan tentang penyakit dan penyembuhannya. Bahwa kemudian berakibat pula pada pelayanan kepada pasien, itu adalah konsekuensi dan bukan tujuan utama spesialisasi. Namun, di Indonesia biasanya tujuan untuk pelayanan lebih menonjol, apalagi kalau bidang itu akan banyak mendatangkan materi. Pelayanan spesialis akan berkembang, tetapi dalam pengembangan ilmunya, kita cenderung mengikuti saja apa yang terjadi di negara lain. Sumbangan terhadap kemajuan ilmu kedokteran dunia tidak terdengar. Kita lebih banyak menjadi negara konsumen atau peniru dan bukan penemu atau inovator.

Ditentukan Profesi
Pada intinya, spesialisasi atau percabangan ilmu kedokteran ditentukan kelompok profesi itu sendiri karena keinginan memperdalam dan menguasai variabel yang diminatinya. Ketika ilmu tentang penyakit anak menemukan bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa, muncullah spesialisasi ilmu penyakit anak. Ketika ilmu penyakit jiwa mempunyai ciri tersendiri, berpisahlah psikiatri dari spesialisasi neurologi. Uniknya, di abad ke-19, neurologi merupakan bagian dari ilmu penyakit dalam. Begitulah seterusnya.

Perpisahan atau percabangan spesialisasi itu tak selamanya mulus. Hampir selalu ada beda pendapat di antara profesi kedokteran itu sendiri. Kita mengalami betapa “perpisahan” ilmu penyakit jantung dari ilmu penyakit dalam menimbulkan gejolak cukup keras dalam profesi kedokteran Indonesia. Kini spesialisasi penyakit jantung, penyakit paru, penyakit ginjal, sudah memisahkan diri dari ilmu penyakit dalam meski tak sepenuhnya. Kesepakatan biasanya terjadi setelah dapat dijelaskan ruang lingkup kerja, kompetensi, dan kurikulum pendidikannya.

Selanjutnya akan berjalan secara alami. Pemerintah dan masyarakat kemudian tinggal memanfaatkan mereka itu semua. Jadi, dalam pendidikan kedokteran, kalau dianalogikan dengan pembuat pakaian, kelompok profesi adalah desainer, atau perancang, lembaga pendidikan menjadi penjahitnya, lalu pemerintah dan masyarakat sebagai pemakainya.

Dulu sebelum tahun 1980-an, di Indonesia pendidikan spesialis berada dalam “kekuasaan” perhimpunan spesialis. Mereka itu yang mendidik, menguji, dan memberikan brevet spesialis. Sesudah 1980-an pemerintah menetapkan bahwa pendidikan harus dilakukan fakultas kedokteran dan brevet (ijazah) diberikan Kementerian Pendidikan.Untuk mereka yang lulus sebelum ketentuan itu, dilakukan “pemutihan” oleh Kementerian Pendidikan.

Namun, percabangan spesialisasi tetap ditentukan kelompok profesi itu sendiri. Ketentuan tentang lingkup kompetensi dan kurikulum pendidikannya tetap ditetapkan kelompok profesi. Untuk menjadi penengah antara lembaga pendidikan dan kelompok profesi, dibentuk Consortium of Medical Sciences (CMS) yang kemudian dikembangkan menjadi Consortium of Health Sciences (CHS). (Kartono Mohamad, 2016)

Kementerian Kesehatan
Untuk itu dalam pengembangan spesialisasi, semestinya Kementerian Kesehatan tidak banyak ikut campur karena pada hakikatnya ia hanyalah salah satu dari pengguna hasil lulusan pendidikan kedokteran. Bukan penentu dokter apa yang harus diluluskan. Selain Kementerian Kesehatan, institusi pemerintah yang lain (seperti TNI, Polri, dan kementerian lain) dan masyarakat swasta juga menjadi pengguna.

Di institusi lain tersebut bisa pula berkembang spesialisasi baru, seperti spesialis penerbangan, penyelaman, kesehatan ruang angkasa, dan sebagainya yang Kementerian Kesehatan tidak menggunakannya.

Karena itu, akan menjadi aneh ketika pemerintah (Kementerian Kesehatan) melalui undang-undang pendidikan dokter menetapkan perlunya spesialisasi baru, yaitu dokter pelayanan primer (DLP). Tanpa jelas ruang lingkup kerjanya, cakupan kompetensinya dan kurikulum pendidikannya. Bagi kalangan dokter umum, yang sekarang juga sudah mengembangkan dokter keluarga, lapisan spesialisasi baru ini menjadi karut marut.

Alangkah lebih bijaksana kalau Kementerian Kesehatan, sebelum mengusulkan gagasan adanya spesialisasi DLP ini, berbicara dengan kelompok profesi kedokteran seperti yang dilakukan CMS dulu. Dengan demikian tidak terjadi penolakan program pendidikan DLP seperti yang terjadi sekarang ini.

Harus diakui sektor kesehatan adalah hal teramat kompleks. Begitu banyak faktor luar yang ikut berpengaruh, terutama di level primer. Dibutuhkan strategi yang tepat dan inovatif untuk mencapai hasil terbaik. Jelas, sebelum membuat kebijakan, perlu data dasar yang detil, sahih, serta analisis yang saksama.

Kerja sama yang kokoh antarinstansi pengambil kebijakan dari berbagai sektor --ekonomi, pendidikan, sosial, lingkungan, dan lain-lain-- wajib dibangun, agar persoalan yang terjadi di masyarakat dapat diatasi secara holistik. Membaca putusan Mahkamah Konstitusi dan pernyataan saksi ahli tergugat, terkesan kompetensi DLP adalah faktor determinant dalam penguatan layanan primer dalam rangka menekan pembiayaan kesehatan. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved