Memupuk Kesadaran Hukum Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin yang kuat (mitsaqan galidhan) antara suami dan isteri untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Oleh: M Natsir Asnawi
Hakim Pengadilan Agama Banjarbaru
Perkawinan adalah ikatan lahir batin yang kuat (mitsaqan galidhan) antara suami dan isteri untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Hukum Islam menempatkan perkawinan tidak sekadar hubungan antara suami dan isteri dalam pengertian an sich, lebih dari itu merupakan akad yang berdimensi transenden yaitu keyakinan terhadap Allah.
Karenanya, perkawinan mengandung pertanggungjawaban terhadap Allah SWT. Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral sehingga seharusnya tiap insan yang memutuskan menikah memiliki tanggung jawab moral memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai luhurnya.
Sebagai negara hukum yang menginternalisasi nilai-nilai agama dalam kegiatan bermasyarakat dan bernegara, Indonesia telah mengatur sedemikian rupa ketentuan-ketentuan hukum perkawinan yang mewujud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Selain itu ada beberapa peraturan lain yang terkait perkawinan yaitu Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim dan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Selain itu, beberapa ketentuan perkawinan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
Hukum perkawinan adalah salah satu subsistem dalam sistem hukum nasional. Hukum perkawinan bersifat multidimensi yaitu selain berdimensi privat (perdata), hukum perkawinan juga berdimensi public karena adanya ketentuan pencatatan perkawinan yang ditetapkan sebagai salah satu prasyarat dalam mewujudkan tertib hukum (legal order) dan tertib sosial (social order).
Pencatatan perkawinan adalah satu dari beberapa ketentuan hukum perkawinan yang paling penting. Pencatatan perkawinan dimaksudkan agar tiap perkawinan yang terjadi di Indonesia tercatat sebagai bagian tertib administrasi yang pada akhirnya berimplikasi pula pada tertib sosial.
Dalam perspektif yang lebih luas, pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang mengarahkan tiap warga negara untuk tunduk dan patuh terhadap syarat-syarat perkawinan. Di sinilah kemudian kita memahami bahwa pencatatan perkawinan menjadi filter bagi kehendak perkawinan dari tiap warga negara atas syarat-syarat perkawinan yang telah ditetapkan.
Demikian, sehingga perkawinan yang terjadi di Indonesia dan tercatat adalah perkawinan yang telah memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan serta tidak melanggar larangan-larangan perkawinan.
Praktik Nikah Siri
Hukum perkawinan Indonesia berisi azas-azas, norma-norma, dan teks-teks hukum, lazim dikenal dengan istilah law in books. Sementara itu, pelaksanaan atau praktiknya merupakan law in action. Efektif tidaknya penerapan suatu hukum dapat dilihat dari koherensi antara law in books dan law in action.
Faktanya di Indonesia, masih banyak terjadi perkawinan yang tidak tercatat dengan ragam dalih atau alasan. Mulai dari ketidaktahuan, kesibukan, hingga kesengajaan secara nyata untuk tidak mencatatkan perkawinannya di instansi yang berwenang. Khusus di wilayah Banjarbaru, praktik nikah siri cukup jamak dan menjadi salah satu permohonan yang paling banyak diajukan di Pengadilan Agama Banjarbaru.
Sekalipun Undang-Undang Perkawinan telah mengamanatkan pencatatan perkawinan, kenyataannya masih cukup banyak praktik perkawinan tidak tercatat atau nikah siri. Di sini terlihat adanya kesenjangan antara aturan dan praktik di lapangan.
Kenyataan ini menunjukkan ada satu segi dalam hukum perkawinan yang terlaksana dengan baik dan hal itu jelas disebabkan berbagai faktor, misalnya keyakinan, penghayatan, serta pengamalan ajaran agama; ketidaktahuan mengenai aturan pencatatan. Hal paling memprihatinkan adalah kesengajaan untuk tidak mencatatkan dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak dapat dibenarkan berdasar hukum.
Dalam pengalaman menangani perkara pengesahan nikah (itsbat al nikah), Penulis telah beberapa kali menolak permohonan pengesahan nikah dikarenakan adanya rukun dan/atau syarat perkawinan yang tidak terpenuhi. Hal ini banyak disebabkan tidak pahamnya para pihak terhadap syarat dan/atau rukun perkawinan yang tidak akan terjadi jika perkawinan dicatatkan di instansi setempat.
Penulis setidaknya menyimpulkan dua hal dari fenomena nikah siri. Pertama, keyakinan mengenai hukum perkawinan menurut agama pada beberapa segi masih lebih dominan yang berimplikasi pada mengesampingkan norma-norma hukum.
