Seputar Kaltara

Malaysia Tarik Tarif Mahal untuk Biaya Tambat Kapal Penumpang Indonesia

Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Petrus Kanisius, akan berjuang meminta keringanan pihak Malay

Editor: Ernawati
TRIBUNKALTIM.CO/NIKO RURU
Kapal-kapal yang melayani pengangkutan penumpang Nunukan-Tawau, Negara Bagian Sabah, Malaysia saat bersandar di Dermaga Tawau. 

BANJARMASINPOST.CO.ID, NUNUKAN - Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Petrus Kanisius, akan berjuang meminta keringanan pihak Malaysia terkait dengan pungutan 30 Ringgit Malaysia (RM) per orang untuk biaya tambat kapal di Tawau, Negara Bagian, Sabah, Malaysia.

Kebijakan dimaksud rencananya mulai berlaku pada 5 Desember 2016 menyusul peralihan pengelolaan pelabuhan kepada pihak swasta di Tawau.

"Kalau bisa diberikan kelonggaran, Puji Tuhan. Nanti kami akan bicara dengan mereka, akan kami berikan gambaran,” ujar Petrus, Minggu (27/11/2016).

Namun, kata Petrus, jika pihak Malaysia bersikeras tak memberikan toleransi, tentu persoalan ini akan disampaikan kepada pemerintah pusat.

“Kalau tidak didengar, ini akan jadi bahan kami melapor ke pusat," ujarnya.

Petrus mengatakan, dengan membangun fasilitas pelabuhan yang lebih baik, tentu pihak swasta harus mengejar target pencapaian pendapatan seperti yang tertuang dalam kontrak yang ditandangani dengan pemerintah di Malaysia.

Sehingga, kata Petrus, karena alasan itulah pihak swasta menaikkan retribusi yang semula RM 5 menjadi RM 30.

"Sebenarnya yang RM 5 saja sudah mengurangi orang masuk, apalagi RM 30. Ini konyol sebenarnya buat mereka,” ujarnya.

Dia mengatakan, persoalan ini harus disampaikan kepada pemerintah pusat, agar jika Malaysia bersikukuh pada keputusannya, pemerintah Indonesia juga bisa memberikan subsidi.

Menurutnya, kebijakan yang mempersulit masyarakat di perbatasan tidak membuat pemerintah tinggal diam.

Dia mencontohkan, kebijakan Malaysia yang mewajibkan kapal-kapal asal Indonesia dilengkapi dengan alat keamanan standar internasional pelayaran, justru direspon dengan memberikan bantuan.

"Pemerintah pasti beri subsidi kalau masyarakat perbatasan teriak. Peralatan AIS yang Rp 30 juta itu pemerintah kasih. GPS, tukang kapal dan pedagang barter trade sekitar 10 orang dapat,” ujarnya.

Diakui Petrus, selama ini warga di Nunukan masih sangat tergantung pada Malaysia.

Karena itu, perputaran ekonomi di Tawau juga sangat dipengaruhi perdagangan tradisional lintas batas yang melibatkan warga di daerah ini.

Dengan begitu, jika Malaysia terus menerus mengeluarkan kebijakan yang secara sepihak merugikan warga di Indonesia, tentu pemerintah juga perlu memikirkan solusi agar warga di daerah ini tidak lagi bergantung pada Malaysia.

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved