Budaya

Darsi, dan Pasang Surut Nasib Wayang Orang Sriwedari

Wayang Orang (WO) Sriwedari pernah mengalami masa kejayaan di era Rusman Harjowibakso, dan Darsi Pudyorini sampai era 1970an

Editor: Ernawati
ptpnix
Pementasan Wayang Orang Sriwedari Solo. 

Adegan yang menjadi ciri khas Rusman, dan Darsi adalah Gatotkaca Gandrung, Gatotkaca yang sedang jatuh cinta pada Pergiwa.

Ketenaran Rusman, dan Darsi terdengar Bung Karno. Mereka pun sering diundang ke Istana Merdeka, Jakarta.

Pada era 1950-an sampai 1970-an WO Sriwedari mengalami masa kejayaannya. Tidak dipungkiri salah satu daya tariknya adanya Rusman, dan Darsi.

Penonton berjubel untuk menyaksikan kehandalan mereka pada adegan Gatotkaca Gandrung, menyadari ketenaran WO Sriwedari serta Rusman, dan Darsi, maka pengelola Taman Sriwedari kemudian membuat patung adegan Gatotkaca Gandrung dengan model Rusman, dan Darsi.

Patung ini sampai sekarang masih berdiri di depan Pendapa Sriwedari.

Muncul Persoalan

Pada era 1970-an pula benih persoalan kepemilikan Sriwedari mencuat ke permukaan, seiring dengan adanya persoalan kepemilikan terjadi pula pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Pejabat baru di pemerintahan memiliki cara pandang yang berbeda melihat berbagai aspek kehidupan, termasuk kehadiran seni budaya di kotanya.

Mereka melihat WO Sriwedari sebagai potensi, tapi mereka juga melihat perkembangan jaman yang akan dihadapi WO Sriwedari tidaklah mudah.

Secara mudahnya pemerintah kemudian mencari jalan keluar dengan menjadikan para pemain sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga para pemain tidak perlu lagi memikirkan penghasilan mereka dari pentas setiap malamnya.

Padahal ruh dari WO Sriwedari bukan semata – mata status para pemain, namun ada hal lain yang terlupakan yaitu penonton yang silih berganti seiring dengan bergantinya era atau tahun.

Maka pemain yang kemudian berstatus sebagai PNS pentas setiap malam. Muncul kecenderungan menujrunnya bobot pertunjukan.

Seiring waktu juga para pemain dimakan usia, mereka semakin tua, dan tidak mampu bergerak lincah layaknya saat muda dulu.

Tapi posisi sebagai PNS menjadikan mereka mau tidak mau harus berpentas setiap malam. Penonton sendiri juga mengalami regenerasi, penonton lama seperti juga para pemain terus bertambah usianya, dan sudah tidak mampu lagi hadir di gedung WO Sriwedari.

Taman Sriwedari sendiri sebagai Kebon Raja atau Bonrojo, dan ruang terbuka di Solo juga mengalami perubahan. Koleksi binatang dipindah ke Satwataru Jurug, di timur Kota Solo, ruang yang kosong di Sriwedari diisi dengan Taman Hiburan Rakyat (THR) yang setiap malam mementaskan musik yang selalu berbeda.

Pementasan musik yang setiap hari menjadikan kondisi pementasan WO Sriwedari sangat terganggu, dan menjadi polusi suara bagi penonton wayang orang.

Penonton yang hadir pun berkurang drastis, kadang kala jumlah penonton benar-benar sedikit, dan WO Sriwedari berada pada titik nadir sebagai ikon kesenian di Solo. Beberapa waktu lalu ada inisiatif dari berbagai pihak untuk melakukan perubahan agar WO Sriwedari dapat muncul kembali sebagai ikon kesenian yang menarik banyak orang, namun inisiatif ini berhenti di tengah jalan.

Kini Darsi telah pergi menyusul Rusman suaminya yang meninggal tahun 1990 lalu.

Kepergian Darsi tidak saja meninggalkan sanak saudara serta warga kota ini, tetapi juga meninggalkan pekerjaan rumah bagi warga dan Pemerintah Kota Solo akan masa depan WO Sriwedari.

Rusman dan Darsi telah mengangkat WO Sriwedari sebagai kesenian yang identik dengan Solo, dan masa depan WO Sriwedari tidak menentu dengan berbagai persoalan yang ada, mulai dari regenerasi, sedikitnya penonton, dan kepemilikan tanah Taman Sriwedari. (Yunanto Sutyastomo/bentarabudaya.com)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved