Pohon Kejujuran
Seorang lelaki petugas kebersihan ternyata memperhatikan saya. “Itu pak, sudah ada kamar toilet yang kosong,” katanya sopan.
Oleh: MUJIBURRAHMAN
Akademisi UIN Antasari Banjarmasin
Beberapa bulan silam, tepatnya 30 April 2017, saya mendapatkan pengalaman yang mengesankan. Hari itu, pesawat yang saya tumpangi mendarat di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta. Setelah keluar pesawat, saya pergi ke toilet. Kemudian naik taksi menuju Terminal 3 untuk melanjutkan perjalanan.
Ketika tiba di Terminal 3, saya baru sadar bahwa ponsel saya tertinggal di toilet. Saya menjadi gugup. Sangat tipis harapan, ponsel itu akan kembali ke tangan saya. Bukankah ini bandara, tempat ribuan orang keluar masuk? Bukankah ini kota besar yang masyarakatnya sangat individualis bahkan egois? Saya makin galau karena ponsel saya tanpa PIN, sehingga bisa saja akun saya disalahgunakan orang.
Dalam keadaan bimbang itu, saya mencoba menenangkan diri. Kebetulan saya belum Salat Zuhur. Saya putuskan salat dulu. Saya berdoa dan serahkan semuanya pada Allah. Kemudian balik ke Terminal 2 dengan taksi. Setibanya di sana, saya segera menuju toilet. Saya masih ingat kamar toilet yang tadi saya pakai adalah yang paling kiri ujung. Ternyata kamar itu sedang dipakai orang. Saya pun menunggu.
Seorang lelaki petugas kebersihan ternyata memperhatikan saya. “Itu pak, sudah ada kamar toilet yang kosong,” katanya sopan. “Maaf, saya bukan mau memakai toilet. Saya ketinggalan ponsel di kamar yang itu,” kataku.
Petugas itu tampak gembira dan berkata,”Oh, ternyata Bapak yang punya ponsel itu. Tadi saya menunggu-nunggu, Bapak tidak datang. Akhirnya, ponsel itu saya serahkan ke pihak keamanan.”
Petugas kebersihan itu segera membawa saya menemui pihak keamanan. Untuk memastikan bahwa ponsel itu milik saya, mereka menanyakan nomor kontaknya. Saya bilang, saya tidak hafal. Tetapi saya bisa menunjukkan foto-foto pribadi saya di ponsel itu. Akhirnya mereka percaya. Saya lega, mereka lega. Saya memberi sedikit uang terima kasih kepada petugas kebersihan tadi.”Bapak orang hebat,” kataku.
Rupanya orang baik masih ada, bahkan mungkin masih banyak. Kalau kita membaca berita tentang korupsi berjumlah ratusan juta, miliaran hingga triliunan rupiah, kita rasanya sudah kehilangan harapan. Seolah kejujuran hanya hiasan bibir belaka. Seolah mengambil uang atau benda tanpa hak adalah biasa. Seolah semua orang yakin, kekayaan adalah segalanya. Seolah semua bisa dibeli.
Ternyata, di tengah hiruk pikuk bandara internasional pun, ada orang baik dan jujur. Dia bukan pejabat berdasi, atau orang terpelajar dengan sederet gelar. Dia hanya orang biasa, bahkan orang kecil yang penghasilannya per bulan mungkin hanya cukup membayar satu malam kamar hotel bintang lima. Padahal, jika dia mau, dia bisa saja mengambil dan menjual ponsel itu. Tetapi dia tidak melakukannya.
Jika masyarakat umumnya memiliki kejujuran yang tinggi, maka rasa saling percaya akan tinggi.
Rasa Saling Percaya
Dalam bahasa Arab, kepercayaan itu disebut amânah, seakar dengan kata îmân (iman) dan amn (aman). Rasa saling percaya melahirkan rasa aman. Masyarakat yang memiliki rasa saling percaya yang tinggi akan memiliki rasa aman yang tinggi. Inilah salah satu ukuran indeks kebahagiaan masyarakat menurut PBB.
Sebaliknya, masyarakat yang mudah curiga dan sulit saling percaya, adalah masyarakat yang kurang atau tidak bahagia. Misalnya, mengapa orang seringkali enggan berurusan dengan aparat hukum? Mengapa orang lebih suka menjual tunai suaranya dalam pemilu ketimbang menunggu sang politisi mewujudkan janji-janjinya? Salah satu sebabnya adalah karena rasa saling percaya sudah makin tergerus.
Di sisi lain, kita patut bertanya, apakah orang kecil seperti petugas kebersihan di atas cenderung lebih jujur ketimbang orang yang berkedudukan? Pertanyaan ini mungkin sebaiknya dijawab melalui survei atau penelitian mendalam. Namun, kalau boleh menduga-duga, sebagai manusia, orang kecil atau orang besar, sama-sama bisa jujur atau dusta, baik atau jahat. Yang berbeda hanyalah kesempatan.
Semakin tinggi pohon, semakin deras terpaan angin. Semakin tinggi naik ke atas, semakin banyak godaan yang dilihat. Yang mulia adalah menjadi pohon yang tinggi dengan akar yang kokoh. Tetapi jika tidak, lebih anggun menjadi pohon kecil, tetapi tidak tumbang, bukan? (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/mujiburrahman-20161107_20161106_224826.jpg)