Ekonomi dan Bisnis
Miris! Perusahaan Jamu Tradisional Kalsel Terancam Tutup, Husin Pun Hanya Produksi 60 Bal
Perusahaan jamu cap Pucuk Sirih yang berlokasi di jalan Sultan Adam, tembus Museum Wasaka Banjarmasin Utara
Penulis: Didik Triomarsidi | Editor: Didik Triomarsidi
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Penutupan pabrik jamu besar Cap Nyonya Meneer, menghantui perusahaan jamu tradisional di Kalimantan Selatan. Bahkan, satu perusahaan jamu Cap Mandau yang terkenal di era 1970 dan 1980an, sudah lebih dulu tutup tahun 2016. Sementara satu perusahaan jamu tradisional lainnya, Cap Pucuk Sirih terancam gulung tikar akibat serbuan produk dari luar.
Perusahaan jamu cap Pucuk Sirih yang berlokasi di jalan Sultan Adam, tembus Museum Wasaka Banjarmasin Utara, kini hanya mampu memproduksi 60 bal dalam sebulan.
“Satu bal berisi 10 bungkus. Kami menjual per bungkus Rp 1.500,” ungkap Ali Alguhum, pengawas produksi perusahaan jamu cap Pucuk Sirih.
Pantauan harian ini di pabrik perusahaan itu, mesin pres pembungkus kapsus dan pembungkus tampak menganggur di gudang. Bebera pekerja telihat tengah asyik membungkus jamu ke kardus.
Perusahaan jamu lokal itu mengalami sempat masa kejayaan di era 80an hingga era milenium. Perusahaan milik keluarga itu tetap bertahan di tengah berbagai tantangan yang dihadapi. Mulai regulasi pemerintah yang dianggap pengelolanya sangat ketat, pemasaran terbatas, ditambah beredar luasnya jamu ilegal di pasaran.
Ali Alguhum, menceritakan, awalnya perusahana jamu itu kepunyaan orang lain yang kemudian dibeli oleh anggota keluarganya pada 1992. “Kala iti perusahaan jamu itu belum maju, bahkan mau tutup hingga pemilik awal menjualnya,” ujarnya.
Setelah dibeli, Ali berinovasi dengan mengganti gambar brand pada kemasan agar lebih menarik. “Nama tidak berubah, hanya mengganti gambar yang sebelumnya merupakan foto istri pemilik awal, kini menjadi gambar animasi perempuan,” ujarnya.
Segmen penjualan jamu khusus perempuan itu ke kampung-kampung di Kalsel. Perusahaan jamu itu pernah memproduksi jamu untuk pria, Cap Cuk Bimbi, namun kurang laku di pasaran.
Hanya setahun berjalan, karena mengalami kerugian sekitar Rp 300 juta, akhirnya perusahaan menghentikan produksi jamu Cuk Bimbi, dan tetap fokus memproduksi jamu khusus perempuan, hingga sekarang.
Jamu Cap Pucuk Sirih mengalami zaman keemasan tahun 2000an. Pemasaran semua wilayah di Kalimantan, merambah Jakarta, Madura, Surabaya, Solo bahkan Malaysia.
Produksi dalam sebulan bisa lebih 300 bal, isi satu bal sebanyak 100 kotak dan satu kotak berisi 10 bungkus. Jumlah karyawan tidak kurang dari 20 orang, kini tersisa empat orang karena sebagian pekerjaan dibantu mesin.
Masa kejayaan jamu cap Pucuk Sirih tidak berlangsung lama. Ketatnya regulasi pemerintah, dianggap menambah tinggi biaya produksi, ditambah persaingan makin ketat masuknya jamu-jamu dari luar Kalsel dengan harga yang lebih murah.
“Diperparah lagi, beredarnya jamu-jamu ilegal. Meskipun Balai BPOM sering merazia, tetapi jamu ileagal tetao di pasaran,” keluh Husin, pemilik Jamu Cap Pucuk Sirih.
Pihaknya sudah mengusulkan ke Pemko Banjarmasin agar menjadikan perusahaan jamu tradisional di Kota Seribu Sungai menjadi raja di daerah sendiri.
“Boleh berkompetisi dengan jamu luar, tetapi tidak menggunakan bahan baku kimia obat (BKO). Karena jamu-jamu yang kami produksi tidak ada BKO, tetapi alami,” jelasnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/ilustrasi-jamu-tradisional_20170828_095552.jpg)