Serambi Ummah

Bulan Safar Identik dengan Tradisi Tolak Bala dan Rebo Wekasan, Begini Hukumnya Dalam Islam

Bulan Safar Identik dengan Tradisi Tolak Bala dan Rebo Wekasan, Begini Hukum Melaksanakannya Dalam Islam

Penulis: Yayu Fathilal | Editor: Restudia
istimewa
Bulan Safar 

BANJARMASINPOST.CO.ID - Lima hari bulan Safar dimulai, tepatnya pada 10 Oktober 2018 nanti. Bulan Safar ini biasanya diyakini sebagai bulan penuh kesialan. Di bulan Safar ini, ada satu hari yang diyakini pada hari itu turun ribuan penyakit dan musibah.

Hari itu disebut Rebo Wekasan yang biasanya terjadi tiap Rabu terakhir bulan Safar. Di Kalimantan Selatan, biasa disebut sebagai Arba Musta'mir.

Dikutip dari Wikipedia.org dan Tribun Timur dalam artikel diterbitkan Rabu (15/11/2017), Rebo Wekasan, Rabu Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah nama hari Rabu terakhir di bulan Safar pada Kalender lunar versi Jawa.
Pada hari ini biasanya dimulainya rangkaian Upacara Adat Safaran yang nanti akan berakhir di Jumat Kliwon bulan Maulid (Mulud).

Seperti upacara Sedekah Ketupat dan Babarit di daerah Sunda kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Keistimewaan hari ini adalah karena inilah satu satunya hari yang tidak tergantung pada hari pasaran dan neptu untuk melakukan suatu upacara adat.

Catatan dalam adat Kejawen hari pasaran dan neptu adalah sangat penting demi keselamatan dan berkah dari acara, kecuali pada hari ini.

Konon ini adalah hari datangnya 320.000 sumber penyakit dan marabahaya 20.000 bencana. Maka rata-rata upacara yang dilaksanakan pada hari ini adalah bersifat tolak bala.

Contoh-contoh upacara adat pada hari ini di Tanah Jawa,

1. Sedekah Ketupat, Sidekah Kupat di daerah Dayeuhluhur, Cilacap.

2. Upacara Rebo Pungkasan, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta.Ngirab, di daerah Cirebonan.

3 Ngirab, di daerah Cirebonan.

4. Safaran di beberapa daerah.

5. Dan banyak orang muslim tertentu yang melakukan sembahyang tertentu.

Tradisi tolak bala di Tangkarau Luar Kelurahan Barabai Timur RT 06, Barabai, Hulu Sungai Tengah, Minggu malam (30/9/2018).
Tradisi tolak bala di Tangkarau Luar Kelurahan Barabai Timur RT 06, Barabai, Hulu Sungai Tengah, Minggu malam (30/9/2018). (Hanani)

Makanan yang dibuat untuk upacara biasanya di antaranya Ketupat, Apem, dan Nasi tumpeng.
Sementara di NU Online dalam artikel diterbitkan pada Selasa (31/12/2013) ditulis oleh kontributor NU Online dan

Ketua Aswaja NU Center, Yusuf Suharto disebutkan bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam.

Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.

Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial.
Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.

Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah,"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (H.R.Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.

Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah.
Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah.

Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah.

Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat.”
Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan, karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.

Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah.
Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.

Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah dihadapkan pada perkara-perkara tersebut.

Di Desa terpencil wilayah hukum Polres Banjarbaru ini seluruh warga kumpul duduk simpuh di ruang terbuka melantunkan doa.
Di Desa terpencil wilayah hukum Polres Banjarbaru ini seluruh warga kumpul duduk simpuh di ruang terbuka melantunkan doa. (banjarmasinpost.co.id/nia kurniawan)

Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan.

Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya.

Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikannya, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas.

Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.

Penolakan akan keempat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada.
Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya.
Allah-lah yang memberi pengaruh.

Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar, tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.

Muktamar NU yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap hari nahas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai hari nahas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut ini:

“Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).

Beberapa warga rela berbasahan demi mengikuti Budrah keliling tolak bala di bulan Safar penanggalan Hijriah di Sekumpul Kecamatan Martapura Kota Kabupaten Banjar Kalsel.
Beberapa warga rela berbasahan demi mengikuti Budrah keliling tolak bala di bulan Safar penanggalan Hijriah di Sekumpul Kecamatan Martapura Kota Kabupaten Banjar Kalsel. (banjarmasinpost.co.id/abdul ghanie)

Indikasi Kesialan dalam Quran dan Hadits

Mungkin ada pertanyaan, bagaimana dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya:’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang” (Q.S al-Qamar (54:18-20).

Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu (fi yawmi nahsin mustammir) tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu Wekasan.

Penafsiran ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah kesialan yang terus menerus.

Istilah hari nahas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).”

Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari sebagaimana disebut di atas.
Jika dikompromikan pun maknanya adalah bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang mempercayai.

Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan ditakdirkan Allah.

Bagaimana dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur (penulis sendiri terus terang belum mengetahui dan meneliti kebenaran nama dan kitab ini, bahkan dalam beberapa tulisan kitab ini disebut dengan Kanzun Najah Was-Suraar Fi Fadhail Al-Azmina Wash-Shuhaar dan Kanju al-Najah wa al-Surur fi al-Adiyati al-Lati

Tasrohu al-Sudur) yang menjelaskan: banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar.

Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang tahun.
Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salammembaca do’a, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.

Para PNS pun mendatangi Makam Datu Sanggul Tapin dalam rangka hari Arba Mustamir yang jatuh Pada Rabu (9/1/2012). Di sana mereka memanjatkan berbagai doa.
Para PNS pun mendatangi Makam Datu Sanggul Tapin dalam rangka hari Arba Mustamir yang jatuh Pada Rabu (9/1/2012). Di sana mereka memanjatkan berbagai doa. (Ibrahim Ashabirin)

Mengenai amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian):

Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.

Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari sebagian ulama’ tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.

Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Mengutip pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan, dinyatakan:

“Naas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada madharatnya.

Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga nahas bagi orang lain.
Artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman bahwa setiap Rabu akhir bulan Safar adalah hari nahas yang harus kita hindari, karena ternyata pada hari itu ada yang
beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.” (banjarmasinpost.co.id/yayu fathilal)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved