Menengok Tragedi 40 Tahun Lalu
40 Tahun Lalu Banjir Air Mata di Makam Syuhada Haji Banjarbaru, Ini Fakta yang Terjadi
Makam Syuhada haji adalah pemakaman bagi jamaah haji yang meninggal karena jatuhnya pesawat yang mengangkut jamaah haji Kalsel
Penulis: Salmah | Editor: Didik Triomarsidi
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARBARU - Melintas di kawasan Landasan Ulin, Jalan A Yani Km24, Kota Banjarbaru, ada dua pemakaman yang begitu mencolok, yaitu Taman Makam Pahlawan Bumi Kencana dan Makam Syuhada Haji.
Taman makam pahlawan, jelas semua orang tahu pastilah pahlawan atau orang berjasa bagi daerah atau negara yang dimakamkan di sana. Sementara makam Syuhada Haji mungkin tidak banyak yang tahu kenapa dinamakan demikian.
Terutama bagi generasi milenial, masih banyak yang belum tahu, itu pemakaman apa dan siapa saja dimakamkan di situ.
Makam Syuhada haji adalah pemakaman bagi jamaah haji yang meninggal karena jatuhnya pesawat yang mengangkut jamaah haji Kalsel pada 1978 silam.
Baca: 6 Fakta Jalan Raya Gubeng Surabaya Ambles 50 Meter, Pembangunan RS hingga Suara Gemuruh
Baca: CUACA KALSEL: Meski Cuma Hujan Sedang. BMKG: Waspadai Petir dan Angin Kencang
Baca: KalselPedia: 8 Objek Wisata Kota Banjarmasin Seribu Sungai, dari Titik Nol Km hingga Pasar Terapung
Baca: UPDATE - Terungkap Detik-detik Jalan Gubeng Surabaya Ambles, Gempa Hingga Ada Teriakan Histeris

Kejadian 40 tahun lalu itu dikenal dengan sebutan tragedi Colombo, karena lokasi jatuhnya pesawat di kawasan sekitar ibukota negara Srilangka tersebut.
Adalah rombongan 01 Banjarmasin,
Kloter 02 embarkasi Juanda, Surabaya, menjadi korban saat itu.
Mereka 249 penumpang yang diangkut dengan pesawat carteran Garuda Indonesia yaitu DC-8 63 CF kode LL001 TF FLA milik maskapai Loftleider Icelandic, Islandia.
Pada 15 November 1978 itu jamaah haji terbang dari Bandara Internasional King Abdul Azis, Jeddah, siang hari waktu Arab Saudi.
KH Drs Tabrani Basri, salah seorang saksi korban selamat, mengatakan, sedianya pesawat terbang siang, namun delay hingga akhirnya berangkat jelang malam.
"Saat itu pesawat akan transit di Srilangka untuk mengisi bahan bakar. Namun musibah terjadi jelang mendarat. Sekitar hampir jam 24.00 tengah malam waktu Srilangka, pesawat kami tumpangi jatuh," ungkap pria 80 tahun, pensiunan dosen Fakultas Ekonomi Unlam Banjarmasin yang juga ulama ini.
Karena cuaca buruk, pesawat yang akan mendarat itu tak mampu kembali naik dan terhempas di perkebunan kelapa dan karet, Desa Kimbullipitaya, provinsi Negombo, sekitar 4 km sebelum bandara internasional Katunayake, Colombo, Srilangka.
Setelah 'membabat' ratusan pohon kelapa dan karet dan terseret hampir 2 Km , pesawat yang patah tiga bagian (depan, tengah belakang) itu dua kali meledak.
Tak pelak 175 jamaah haji tewas, 74 jamaah yang sempat keluar pesawat dapat selamat dengan kondisi 28 orang cedera ringan, 46 orang tanpa cedera.
Begitu pula 13 awak terdiri pilot dan co pilot, teknisi, pramugari. Sebanyak 8 orang tewas, 5 orang selamat (1 orang cedera berat, 3 orang cedera ringan, 1 orang tanpa cedera).
Keesokan harinya bendera setengah tiang 3 dikibarkan di seantero tanah air Indonesia dan juga di Srilangka sebagai ujud duka cita mendalam.
Jamaah haji yang meninggal dibawa ke Kalsel dan dimakamkan di Landasan Ulin, Banjarbaru yang dinamakan Makam Syuhada Haji. Dibangun monumen di dalam makam yang bertulis nama-nama korban.
Pemakaman pada Sabtu, 16 November itu diiringi derai air mata keluarga korban. Apalagi jamaah meninggal itu ada yang terdiri suami istri, anak, menantu, sepupu, kerabat.
Di makam itu ada 4 jalur nisan tanpa nama. Jalur satu terdiri 44 jenazah, jalur dua 42 jenazah, jalur tiga 40 jenazah, jalur empat 31 jenazah.
Total 157 jenazah dimakamkan. Sementara 18 jenazah sudah tak terdeteksi lagi karena hancur bersamaan puing pesawat.
Bagi KH Tabrani dan istri, peristiwa itu menjadi pengalaman berharga seumur hidup. Bagaimana pengalaman pasangan suami istri tersebut dan korban selamat lainnya berjuang keluar dari pesawat? Simak kisahnya dalam tulisan berikutnya.
Pesawat carteran Garuda Indonesia yaitu DC-8 63 CF kode LL001 TF FLA milik maskapai Loftleider Icelandic, Islandia, membawa jamaah calon haji Kalsel berangkat dari Embarkasi Surabaya ke Jeddah, Arab Saudi.
Pesawat itupula yang membawa pulang jemaah haji ke tanah air, namun takdir mengharuskan pesawat tertimpa musibah yang menewaskan 175 penumpang dari total 264 penumpang.
Banyak jamaah di penerbangan itu yang merupakan kalangan pejabat pemerintahan di Kalsel dan Banjarmasin, anggota dewan, selain itu akademisi, pedagang dan lainnya.
Dipaparkan KH Drs Tabrani Basri, saat kejadian itu ia berusia 40 tahun dan istrinya, Hj Rasidah berusia 38 tahun. Mereka termasuk rombongan haji dari Universitas Lambung Mangkurat.
"Saat itu kami 9 orang dari Unlam. Pembantu Rektor III bersama istri, Dekan Fakultas Hukum bersama istri, Dekan Fakultas Sospol juga bersama istri, saya dari Fakultas Ekonomi bersama istri dan seorang bendahara Unlam," ungkapnya.
Tukas Hj Rasidah, sebelumnya tak ada firasat jelek saat di tanah suci. Hanya saja, saat baru tiba di Madinah, ia sempat bermimpi pulang ke tanah air mengenakan pakaian ihram tanpa membawa barang apa-apa.
"Sepulang dari masjid di Madinah, kami duduk-duduk bersama rekan sekamar, ketika itu saya ceritakan mimpi saya dan mengundang tawa semua di situ," seloroh ibu lima anak ini.
Ujar salah seorang jamaah, H Asnawi, Pensiunan Kakanwil Diknas Kalsel, yang kemudian turut meninggal dalam peristiwa tragis itu, jika pulang berpakaian ihram dan dipeluk para cucu, maka busana bisa terlepas. Bagaimana jadinya dilihat orang.
Ketika bersiap pulang ke Tanah Air, Hj Rasidah juga melihat pesawat yang akan dinaiki itu seperti sudah tua, butut.
"Pesawatnya warna hijau daun, tapi saya lihat kok jelek, usang. Padahal itu pesawat yang sama kami tumpangi saat berangkat haji," tukasnya.
Tabrani menambahkan, pesawat yang kabarnya berusia 10 tahun itu semestinya terbang siang namun entah kenapa tertunda hingga 10 jam. Anehnya pula pramugari Garuda yang sedianya ikut malah tertinggal lima orang.
"Saat itu kami mau duduk di barisan muka, tapi karena harus terpisah tempat duduk. Maka kami berpindah ke tengah pesawat, belakang sayap, supaya bisa sederet bertiga dengan adik perempuan saya yang juga sama-sama pulang berhaji," kisah Tabrani.
Padahal, di bagian tengah pesawat itulah yang nantinya menjadi pusat ledakan.
Sambung Hj Rasidah, mereka naik pesawat sudah lepas malam. Karena tak sempat shalat Maghrib, maka ia pun mengajak suaminya shalat Maghrib di pesawat.
Tapi Tabrani mengatakan nanti saja sekalian shalat jama takhir (gabung Maghrib-Isya) ketika pesawat mendarat di Colombo untuk isi bahan bakar.
"Saya kecapekan. Ya, kami semua memang capek saat itu. Apalagi 10 jam nunggu diterbangkan. Makanya saya tunda shalat di pesawat. Co-pilot saat keluar cockpit dan berjalan ke arah belakan pesawat sempat saya tanya, bolehkah berwudhu di belakang, dijawabnya tidak boleh, lebih baik shalat di Colombo saja. Itulah akhirnya saya putuskan tidak shalat di pesawat," paparnya.
Para jamaah lain yang awalnya ramai berbincang beberapa waktu kemudian banyak yang terlelap termasuk pula Tabrani yang tak kuasa menahan lelah dan kantuk dalam penerbangan panjang ini.
Dalam tidurnya, Tabrani bermimpi. Mimpi itu membuat terbangun dan memutuskan berubah pikiran. Dan itu terjadi beberapa saat sebelum kejadian.
(banjarmasinpost.co.id/salmah saurin)