Berita Tanahlaut
VIDEO Tonggak Kayu Ulin oleh Warga Tanahlaut Ini Diolah Jadi Barang Bernilai Ekonomis Tinggi
Gatot Sugeng Santosa mengolah limbah kayu berupa tonggak kayu ulin menjadi bendara bernilai ekonomi tinggi
Penulis: BL Roynalendra N | Editor: Hari Widodo
Editor : Hari Widodo
BANJARMASINPOST.CO.ID, PELAIHARI - Limbah kayu kebanyakan menjadi benda tak bernilai yang dibuang begitu saja. Kalaupun dimanfaatkan, hanya menjadi arang atau abu.
Namun di tangan terampil Gatot Sugeng Santosa, barang bekas itu teramat berguna bahkan ia sulap menjadi bernilai ekonomi tinggi.
Warga Desa Sumberjaya, Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanahlaut (Tala), Kalimantan Selatan (Kalsel), ini memproduksi meja dan kursi berbahan limbah kayu. Usaha ini mulai ia tekuni sejak 2005 silam.
Bentuk meja kursi bikinannya beraneka ragam sesuai kondisi limbah kayu yang didapatkan.
• Sulap Limbah Kayu Ulin Jadi Cobek, Nur Pasarkan Produknya di Seluruh Kalsel hingga Kaltim
• Limbah Sisa Makanan Ulat Maggot Jadi Pupuk Organik, Ini Kelebihannya
• Mahasiswa Tala Sulap Limbah Perikanan dan Limbah Mie Instan Jadi Produk Bermanfaat ini
Seluruhnya berbahan limbah kayu ulin berupa tonggak di wilayah Kecamatan Kintap dan sekitarnya.
Ia menuturkan umumnya limbah tonggak ulin tersebut berasal dari area hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan.
Di Kintap terdapat sejumlah perusahaan perkebunan dengan luasan area yang cukup luas, umumnya adalah perkebunan kelapa sawit.
"Masih banyak limbah tonggak ulin di area HGU. Nah, itu yang jadi bahan baku meja kursi bikinan saya," jelasnya kepada BPost beberapa hari lalu.
Ia membeli limbah tonggak kayu ulin tersebut dari sejumlah warga. Selain dari wilayah Kintap, kadang bahan bakunya ada juga yang berasal dari wilayah Kecamatan Satui, Kabupaten Tanahbumbu (Tanbu).
Menyulap limbah tonggak ulin menjadi barang bermanfaat seperti meja dan kursi, sebut Gatot, tak mudah.
Diperlukan jiwa seni tinggi serta kesabaran, keletelisian dan kecermatan sehingga lekukan-lekukan kondisi limbah kayu dapat ditata sedemikian rupa menjadi tampilan yang ciamik.
Ia membikin produk tersebut secara manual. Perlengkapan yang digunakan pun sederhana yakni gerinda, katam, dan chain saw.
Prosesnya lumayan lama hingga beberapa pekan karena juga memerlukan sentuhan ukiran meski minimalis. Ada sekitar empat orang yang terlibat dalam pengerjaannya.
Pengamplasan dan pemolesan plitur (pengilap kayu) merupakan tahap akhir yang membuat meja kursi bikinan Gatot menjadi kian kinclong dan tampil ciamik.
Harganya pun seketika melambung, naik berlipat ganda dari harga beli bahan mentah (limbah kayu).
Kadang untuk membentuk meja kursi, jelasnya, diperlukan penyambungan karena tak semua dimensi dan bentuk limbah kayu ulin memadai.
Namun sebagian besar produksi tanpa sambungan atau murni sesuai bentuk asli. "Kalau yang asli tanpa sambungan harganya jauh lebih tinggi, bedanya bisa separo lebih," sebutnya.
Harga terendah meja kursi bikinan Gatot pun cukup mencengangkan yakni Rp 6 juta. "Sejauh ini harga beli tertinggi yang pernah saya dapatkan yakni Rp 15 juta.
Barangnya berupa meja dan kursi ukuran kecil saja tapi lengkap dengan empat unit kursi," sebut Gatot.
Ia menuturkan pembeli tertinggi tersebut yakni dari Madiun, Jawa Timur. "Itu harga di galeri saya, ngambil sendiri ke tempat saya. Jadi, itu orang Madiun yang bekerja di Kintap. Jadi pas balik langsung membawa barangnya," bebernya.
Lumayan banyak aneka jenis meja kursi limbah ulin yang terpajang di Galeri Berkat Bersama milik Gatot. Galerinya terletak di tepi jalan poros Desa Sumberjaya di wilayah RT 2/3.
Cukup mudah dijangkau, jaraknya dari jalan poros Trans Kalimantan jalur Kintap-Sungaidanau juga tak terlalu jauh yakni sekitar satu kilometer.
Kerajinan tangan Gatot tersebut mendapat perhatian pemerintah daerah dan perusahaan sekitar. Bahkan ia telah mendapat penghargaan dari Bpati Tala dan pada 2018 lalu pernah mengikuti pameran di JCC Jakarta.
Saat mengikuti pameran di ibu kota tersebut, Gatot dapat order lumayan banyak dari warga Malaysia. Orang dari negeri jiran itu memesan cermin berbingkai limbah kayu ulin.
Dikatakannya, sebenarnya saat itu sudah deal harga, ongkos kirim juga ditanggung. Namun permintaan barang cukup jumlah banyak. Hal tersebut yang kala itu membuatnya bimbang mengingat tak gampang mendapatkan bahan baku.
• Aipda Joko Ciptakan Kompor dengan Limbah Kayu Bantu Atasi Kelangkaan Elpiji, Ide Berawal dari ini
"Apalagi kemudian saat itu Dishut pindah ke provinsi sehingga kan kalau mengurus ini itu meski ke Banjarmasin. Akhirnya orderan tersebut tak dapat saya penuhi," papar Gatot.
Selain meja dan kursi serta cermin, juga ada produk lainnya. Di antaranya asbak seharga Rp250-500 ribu dan tasbih menang (timbul) seharga Rp 500-an ribu.
Gatot kini juga mulai mencoba memanfaatkan bahan baku kayu hutan lainnya, termasuk kayu akasia. Dengan begitu diharapkan pemenuhan bahan baku menjad lebih mudah dan dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.(banjarmasinpost.co.id /idda royani)