Opini Publik
Bebaskan Anak dari Belenggu Kekerasan (Renungan Hari Anak Nasional 2021)
Jenis kekerasan yang sering dialami anak adalah kekerasan fisik, mental dan seksual, baik yang bersifat umum maupun khusus
Oleh: Paulus Mujiran Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang
BANJARMASINPOST.CO.ID - Kekerasan pada anak menjadi ancaman serius generasi Indonesia. Fenomena Kekerasan terhadap Anak yang terjadi, baik di ranah publik maupun non-publik banyak diantaranya dilatarbelakangi hubungan struktural yang dominan bagi pelaku (superordinate) dan posisi lemah korban (subordinate), baik secara ekonomi, gender, dan hubungan kerja. Kekerasan pada anak terjadi dimana-mana dan pelakunya sebagian besar adalah orang terdekat korban.
Menurut hasil penelitian Heddy Shri Ahimsa Putra sebagaimana yang dikutip Kholis (2014), bahwa pelaku antara lain adalah ayah, ibu, guru, teman, saudara kandung, ayah angkat, ibu angkat, paman dan majikan/atasan. Jenis kekerasan yang sering dialami anak adalah kekerasan fisik, mental dan seksual, baik yang bersifat umum maupun khusus atau lebih berkonotasi pada sifat tindak kekerasan yang dialami anak.
Sedangkan hasil penelitian Bagong Suyanto dalam Kholis (2014) menemukan adanya kecenderungan korban kekerasan dalam posisi yang lemah, baik secara fisik untuk melawan maupun secara nonfisik. Betapa tidak anak-anak yang mestinya menikmati masa-masa indah penuh kebahagiaan bermain dengan teman-teman sebaya justru menjadi sasaran kekerasan. Kekerasan berdampak serius yang mengganggu tumbuh kembang anak. Anak-anak yang terpapar kekerasan tidak berkembang menjadi anak-anak sempurna.
Pribadi yang sempurna yang tampil sebagai pemimpin bangsa hendaknya bebas dari kekerasan. Kekerasan selain mengganggu pertumbuhan fisik, psikis dan emosional juga menimbulkan trauma bahkan luka batin dalam jangka panjang. Anak-anak yang memiliki cacat bawaan luka batin karena pernah dihina, dibully, dilecehkan dalam kekerasan emosional sering menjadi pemalu, takut menghadapi kenyataan dan mudah menyerah jika ada kesulitan.
Mirisnya, kekerasan pada anak justru terus meningkat. Data yang dihimpun dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari tanggal 1 Januari 2020 sampai 23 September 2020 menunjukkan kasus kekerasan terhadap anak (KtA) di Indonesia sebanyak 5.697 kasus dengan 6.315 korban. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2019 sebesar 4.369 kasus dan tahun 2018 sebesar 4.885 kasus kekerasan anak.
Menurut Liunir Z, faktor risiko terjadinya kekerasan terhadap anak antara lain anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, kemiskinan keluarga karena banyak anak, keluarga pecah karena broken home akibat perceraian, keluarga belum matang secara psikologis, gangguan mental pada salah satu orang tua, pengulangan sejarah kekerasan masa lalu orang tua, kondisi lingkungan sosial buruk dan keterbelakangan.
Richard J Gelles (2004 : 6-7) konsekuensi dari tindakan kekerasan anak dapat menimbulkan kerusakan dan akibat yang lebih luas, luka-luka fisik, seperti memar-memar, goresan-goresan, dan luka bakar, hingga kerusakan otak (brain damage), cacat permanen, dan kematian. Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan (psychiatric disorders), seperti depresi (depression), kecemasan berlebihan (excessive anxiety) atau gangguan identitas diasositif (dissociative identity disoreder) dan juga bertambahnya risiko bunuh diri(suicide).
Maraknya aksi kekerasan kepada anak disebabkan terdapat anggapan masyarakat kita, kekerasan merupakan masalah rumah tangga di ranah domestik sehingga tidak perlu dilaporkan. Orang cenderung diam manakala kekerasan itu terjadi dalam rumah tangganya. Tak pelak kasus kekerasan pada anak seperti fenomena gunung es. Kejadian sesungguhnya lebih parah dibanding yang terungkap ke permukaan.
Parahnya lagi, kekerasan masih dianggap dari pendidikan untuk mendisiplinkan anak. Di beberapa tempat di tanah air kekerasan sering dianggap benar. Mereka yang menjadi korban juga anak sendiri, keturunan sendiri sehingga orang lain tidak dapat berbuat banyak. Kekerasan pada anak merupakan ranah yang tersembunyi dan jarang terungkap ke permukaan. Ini mempersulit upaya penyelesaian kasus-kasus kekerasan. Pelaku orang-orang terdekat korban juga sulit untuk diajak bekerjasama.
Miris, karena sebagian kasus kekerasan terhadap anak pelakunya adalah orang terdekat dan yang dikenal korban (anak). Mereka adalah orang tua, saudara, kakak, paman, guru bahkan teman sepermainan sebaya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan sekitar 70 persen pelaku child abuse ini adalah orang dekat yang dikenal korban seperti ayah, ibu, pembantu, kakak, paman dan teman. Sedang yang tidak dikenal anak hanya 30 persen.
Celakanya, dalam masyarakat berkembang tradisi anak selalu ditempatkan sebagai makhluk yang lemah dan dipandang sebagai properti orang tua sehingga mudah dijadikan sasaran kemarahan dan kefrustasian. Anak-anak karena faktor usia belum memiliki cukup pengetahuan merespon kekerasan yang menimpanya. Anak-anak juga belum dapat membedakan perlakuan yang diterimanya sebagai bentuk kekerasan atau bukan.
Anak-anak juga belum dapat membedakan antara kekerasan yang satu dengan yang lain. Padahal perlakuan salah yang diterima dari orang dewasa atau sesama anak lain berdampak serius bagi tumbuh kembang anak. Kondisi ini ditunjang dengan minimnya pengetahuan orang tua mengenai pola asuh yang benar. Di masyarakat hanya sedikit lembaga yang peduli mendidik orang tua mengerti mengenai pola asuh bebas dari kekerasan.
Rebeka Haning (2021) semua jenis gangguan mental terdapat hubungan dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika masih kecil akan berdampak di masa depan. Satu dari sekian banyak kasus child abuse dialami secara terus-menerus akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis. Pasalnya semua tindakan kekerasan yang diterima anak akan direkam di alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai dewasa nanti, bahkan sepanjang hidupnya.
Agresi psikologis ini menyebabkan anak sulit beradaptasi bahkan berperilaku buruk. Bisa jadi kemudian anak berkembang menjadi kurang percaya diri, minder, atau bahkan hiperaktif. Galibnya, anak yang sering mendapat perlakuan kejam dan kasar dari orang tua yang agresif cenderung menjadi pribadi yang agresif pula. Setiap kekerasan yang diterima anak akan membekas dalam dirinya dan terbawa hingga dewasa.