Dicemooh karena Berkutat dengan Kotoran Sapi, Kini Transmigran Batola Ini Menikmati Keuntungannya
Musodikun pun membulatkan tekat untuk mengolah kotoran sapi menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Penulis: Muhammad Tabri | Editor: Eka Dinayanti
BANJARMASINPOST.CO.ID - Cerita panjang menyertai kiprah Musodikun (51) dalam mengembangkan usaha kreatif yakni memanfaatkan kotoran sapi menjadi pupuk organik.
Awalnya, warga Desa Danda Jaya, Kecamatan Rantau Badauh, Kabupaten Baritokuala ini dianggap mengganggu masyarakat.
Hal itu karena bau kotoran sapi yang ia kelola menyebar tak terbendung.
Dituturkan Musodikun, sekitar 2015 merupakan puncak keberhasilannya melakukan penggemukan sapi.
Namun ini diiringi masalah yakni limbah sapi.
Persoalan ini harus dipecahkan supaya tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat sekitar.
“Di saat-saat itulah saya mendapat perlakuan tidak baik dari masyarakat yang merasa terganggu. Bahkan sempat diancam dan diusir,” ungkapnya.
Cemoohan terus mengalir.
Baca juga: Bocah 3 Tahun Ditemukan Menangis di Jalan Trans Kalimantan Batola, Polsek Alalak Selidiki Orang Tua
Tidak hanya terhadap Musodikun, tetapi juga hingga ke anaknya yang duduk di bangku SMA.
Musodikun pun membulatkan tekat untuk mengolah kotoran sapi menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Ia mulai meracik kotoran sapi untuk dijadikan pupuk organik.
Bersamaan dengan itu ia mengajukan bantuan dan pendampingan ke Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunak) Batola agar bisa maksimal.
“Penyampaian saya diaminkan Disbunak dengan dibekali peralatan dan diikutkan berbagai pelatihan hingga ke luar Kalimantan,” ucap transmigran asal Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah ini.
Singkat cerita, produk awal pun jadi dengan bentuk pupuk organik curai dan siap dipasarkan.
Tahap pertama, Musodikun menawarkan pupuknya ke Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura (Distan TPH) Batola.
Meski disambut baik, produknya ditolak.
Alasannya, kandungan pupuk belum melalui uji labolatorium sehingga tidak diketahui unsur, kadar dan apa saja manfaatnya.
“Tidak berhenti di situ, saya coba bawa ke Balai Riset dan Standardisasi (Baristan) dan Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balitra) untuk diuji. Pertama gagal dan kedua kalinya lulus dan bisa mengantongi izin,” terang Musodikun.
Setelah uji kedua ini, Musodikun tidak hanya mengantongi izin layak produksi, tapi sudah menyertakan kandungan khusus pada pupuk organik yang ia formulasikan.
Di antaranya kandungan tanaman lokal yang sarat manfaat sebagai insektisida, seperti umbi gadung, lengkuas, kecubung dan penawar sampai.
Bentuk pupuk yang dikemas pun sudah menarik, karena berbentuk granol atau buliran layaknya pupuk produksi pabrikan.
Musodikun mengatakan, untuk memaksimalkan kandungan beberapa bahan yang sudah dikombinasikan, ia hanya mengandalkan pengeringan alami tanpa dryer.
Gunanya menjaga bakteri yang menggumpal pada butiran granul bisa kembali tumbuh bereaksi saat digunakan pada lahan tanaman.
“Memang reaksi dari pupuk organik ini tidak spartan langsung bereaksi. Tapi seiring kandungannya terurai maka jadi asupan tanaman melalui akar. Maka dampaknya bagus dan alami pada tanaman,” ujar warga yang hanya berpendidikan hingga SLTA ini.
Baca juga: Guru PPPK di SMA dan SMK Kalimantan Selatan Bisa Kena Mutasi ke Daerah Lain
Setelah berproses hingga lima tahun lebih, usaha pembuatan pupuk bersama Koperasi Tinombala ini pun berkembang pesat.
Per hari Musodikun bersama tujuh karyawannya bisa memproduksi minimal 400 kilogram pupuk.
Pupuk itu dikemasnya dalam karung isi 20 kilogram.
Adapun harga per karungnya Rp 40 ribu.
Ini masih terjangkau dibandingkan pupuk produksi pabrikan pada umumnya.
Produksi pupuk organik Musodikun mulai familiar di Baritokuala dan digandrungi petani untuk memaksimalkan tumbuh kembang berbagai tanaman, terutama jenis hortikultura.
“Dalam waktu dekat, produksi saya akan hadir di Tanahlaut dan Tanahbumbu karena ada kerja sama dengan Pemkab Setempat untuk turut memberikan pembinaan,” terang Musodikun.
Ia pun berharap pupuknya menjadi produk unggulan dan membawa dampak baik bagi pertanian di Batola. (BPost Cetak)