Berita Banjarmasin

UU Kesehatan Resmi Disahkan DPR RI, Begini Sikap IDI Kalsel

IDI Kalsel kembali bereaksi setelah Rancangan Undang-Undang Kesehatan resmi disahkan menjadi UU oleh DPR RI

Penulis: Muhammad Syaiful Riki | Editor: Hari Widodo
SIGIT UNTUK BPOST
Aksi Damai Nasional dengan mengusung tema Selamatkan Kesehatan Bangsa di Jakarta atas pembahasan RUU Kesehatan di DPR RI, Senin (8/5/2023). 

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kalimantan Selatan (Kalsel) kembali bereaksi setelah Rancangan Undang-Undang Kesehatan resmi disahkan menjadi UU oleh DPR RI.

Ketua IDI Kalsel, dr Sigit Prasetia Kurniawan menyatakan sikap tegak lurus dan satu komando bersama Pengurus Besar (PB) IDI.

Hal fundamental yang akan dilakukan adalah melakukan rekonsolidasi dengan seluruh perhimpunan, keseminatan dan anggota IDI se-Kalsel.

“Itu sebagai upaya meningkatkan soliditas dan membangun kolegalitas untuk terus menjaga marwah dan etika luhur profesi serta kesejawatan sehingga tidak ada yang bisa memecah belah anggota IDI se-Kalsel,” katanya, Kamis (13/7/2023).

Baca juga: Opening Ceremony HBDI ke 115 di Kalsel, Ketum PB IDI Ajak Peserta Serukan Tolak RUU Kesehatan

Baca juga: Lima Organisasi Gelar Aksi di Kota Amuntai atas RUU Kesehatan, Polres HSU Beri Pengamanan

Baca juga: Dukung Penolakan RUU Kesehatan, Lima Organisasi di Kabupaten HST Gelar Doa dan Mengheningkan Cipta

Sigit menyebut kekhawatiran pada salah satu substansi UU kesehatan yang telah disahkan, bukan pada sisi organisasi.

Tetapi, lebih pada perlindungan hukum dan potensi ketidakpastian restorative justice.

Selain itu, senada dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Umum PB IDI, Sigit menilai fenomena ini menjadi sejarah kelam dalam dunia medis dan kesehatan.

“Selama ini UU Keprofesian dan Kesehatan yang tidak ada yang kontradiktif dan cukup efektif mengatur regulasi tentang tenaga medik, tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan, penjaminan mutu dan organisasi profesi,” ujarnya.

Selain itu, beberapa substansi yang terdapat dalam UU Kesehatan dinilai bertolak belakang dengan upaya perbaikan sistem kesehatan nasional.

Itu ditandai dengan dihapusnya “mandatory spending” atau alokasi wajib anggaran 10 persen dari total anggaran (APBD) untuk sektor kesehatan dan tidak adanya jaminan kepastian perlindungan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan pelayanan kesehatan dan profesi.

Sigit menilai hilangnya mandatory spending ini menjadi suatu bentuk ketidakpastian dalam pembangunan kesehatan. Sehingga berpotensi terjadinya pembatalan anggaran atau perubahan anggaran yang selama ini diamanahkan UU.

“Bahkan WHO pun menyatakan perlunya alokasi minimal pada negara-negara berkembang sebesar 5-10 persen dari total anggaran untuk kesehatan. Dengan tanpa adanya mandatory spending, tentunya dapat mengancam ketahanan kesehatan,” bebernya.

Baca juga: Tenaga Medis Tuntut Hentikan Pembahasan RUU Kesehatan, IDI Kalimantan Selatan Ikut Berpartisipasi

Sigit pun menyoroti pengesahan UU Kesehatan yang terkesan tanpa mengindahkan aspirasi dan partisipatif organisasi profesi serta masyarakat.

Padahal, menurutnya, kepentingan dan keselamatan masyarakat adalah hal yang terpenting di atas apapun.

“Standar profesi dan pelayanan profesi yang dibuat dan ditetapkan oleh organisasi profesi bersama kode etik profesi menjadi hal mutlak dalam pedoman memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peran penting organisasi profesi lebih pada menjaga keselamatan dan ketahanan kesehatan bangsa  masyarakat Indonesia,” tuturnya.

(Banjarmasinpost.co.id/Muhammad Syaiful Riki)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved