Berita Pendidikan

Jadwal Ujian Nasional SMA Mulai November 2025, Hasilnya tak Jadi Penentu Kelulusan Siswa

Mendikdasmen Prof. Mu'ti menegaskan hasil UN 2025 tidak akan dijadikan penentu kelulusan siswa, tapi inilah tujuan sebenarnya

Editor: Rahmadhani
BANJARMASINPOSTGROUP/EDI NUGROHO
Ilustrasi - Kepala Sekolah SMAN 1 Anjir Pasar, Murjani, mengawasi langsung pelajar SMAN 1 Anjir Pasar Kabupaten Batola yang mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), Selasa (2/4/2019). Pemerintah akan kembali mengadakan ujian nasional (UN) mulai November 2025 untuk siswa yang berada di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). 

BANJARMASINPOST.CO.ID - Pemerintah akan kembali mengadakan ujian nasional (UN) mulai November 2025 untuk siswa yang berada di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu'ti mengungkap alasan mengapa ujian nasional (UN) siswa SMA digelar mulai November 2025.

Menurut Prof. Mu'ti, UN SMA memang sengaja digelar mulai November 2025 agar hasil ujian bisa dijadikan bahas pertimbangan oleh perguruan tinggi yang akan menerima siswa lulusan kelas 12.

Meski demikian, Prof. Mu'ti menegaskan hasil UN tidak akan dijadikan hasil penentu kelulusan siswa sama seperti aturan ujian sebelumnya.

Namun, ia percaya hasil UN akan bisa dijadikan bahan evaluasi yang detail pelaksanaannya belum mau diungkap oleh Prof. Mu'ti.

"Nanti tunggu saja yang jelas tidak ada kata-kata ujian dalam yang baru itu," kata Prof. Mu'ti di Pusdatin Kemendikdasmen, Tangerang Selatan, Selasa (21/1/2025).

Baca juga: Jadwal Libur dan Agenda Belajar dari Rumah selama Ramadhan 2025, Kembali Masuk ke Sekolah 6 Maret

Baca juga: Dukungan Penerapan Kembali UN Terus Mengalir di Kalsel, Reja Sarankan Pakai Sistem Online

Nantinya, Kemendikdasmen juga tidak akan lagi menggunakan istilah Ujian Nasional tetapi akan diganti menjadi Tes Kompetensi Akademik untuk menghilangkan kesan traumatik pada siswa.

Tak ada perubahan besar

Walau sudah disebut tidak menjadi faktor kelulusan, rencana pengembalian Ujian Nasional ternyata mendapat banyak catatan dari para praktis pendidikan dan guru.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) misalnya, mereka tetap memberikan catatan bahwa UN sebaiknya tidak dijadikan penentu kelulusan siswa.

Sebab, menurut Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Mansur Sipinathe menilai, tampaknya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) masih cenderung tidak melakukan perubahan besar pada pelaksaan UN model terbaru.

"Konsen FSGI terhadap ujian nasional (UN) adalah tidak dijadikannya hasil UN sebagai penentu kelulusan, dan hingga saat ini nampaknya Kemendikdasmen masih pada kebijakan itu (dijadikan penentu kelulusan)," kata Mansur kepada Kompas.com, Rabu (22/1/2025).

Mansur menilai, tampaknya model UN terbaru yang digagas oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu'ti tidak akan berbeda jauh dengan UN model lama.

Kemungkinan, kata dia, hanya untuk menggantikan model Asesmen Nasional yang diterapkan pada era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim.

"Kita tidak dapat berharap adanya lompatan besar. Bahkan bisa saja ujian ini hanya akan menggantikan Asesmen Nasional (ANBK) yang telah dilaksanakan 3 tahun terakhir ini," ujarnya.

Kendati demikian, pihaknya tetap berharap Mendikdasmen Prof. Mu'ti untuk merumuskan model baru UN berdasarkan kajian komprehensif. Serta model baru Ujian Nasional ini bisa memberikan dampak yang baik untuk dunia pendidikan Indonesia.

"Kami berharap ujian nasional mendatang tidak sekadar mengganti nama ujian namun dapat berimplikasi kepada perbaikan mutu pendidikan," ucap Mansur.

Catatan P2G

Senada dengan FSGI, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga memberikan beberapa catatan terkait rencana pemerintah kembali menggelar UN.

Koordinator Nasional (Kornas) P2G Satriwan Salim mengatakan, pihaknya pada dasarnya setuju jika pemerintah memiliki sarana evaluasi siswa, guru, dan sekolah.

Namun, yang harus diperhatikan, kata Satriwan, yakni jangan sampai proses Ujian Nasional model terbaru itu jadi merugikan siswa.

"Jadi P2G setuju bahwa sistem pendidikan nasional harus ada formula evaluasinya.Peserta didik itu juga harus ada formula evaluasinya. Sekolah juga harus dievaluasi," kata Satriwan kepada Kompas.com, Rabu (22/1/2025).

Kendati demikian, Satriwan memberi beberapa catatan sebelum UN kembali diadakan pada November 2025. Berikut sederet catatannya:

1. Jangan jadi penentu kelulusan

Catatan pertama dan yang menjadi konsen P2G kata Satriwan, jangan sampai Ujian Nasional model terbaru ini dijadikan standar atau syarat kelulusan siswa.

Satriwan membenarkan bahwa amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tepatnya Pasal 57, 58, dan 59 bahwa pemerintah harus melakukan evaluasi pendidikan.

Namun dalam aturan itu tidak disebutkan kalau evaluasi itu dilakukan dalam bentuk ujian dan menjadi syarat kelulusan siswa.

"Jadi high risk testing gitu. Nah kan, dan lagi pula untuk menentukan kelulusan itu dikatakan di dalam UU Sisdiknas di Pasal 57, 58, 59 penentuan kelulusan murid itu ditentukan oleh pendidik atau guru di sekolah, bukan oleh negara," ujarnya.

2. Penentuan skema

Catatan selanjutnya, kata Satriwan, adalah skema dari UN sendiri harusnya ditentukan dengan melibatkan stakeholder di bidang pendidikan.

Mulai dari guru, dinas pendidikan setempat bahkan hingga orangtua siswa harus dilibatkan dalam penentuan skema Ujian Nasional versi baru.

3. Jangan rujukan siswa

Satriwan menuturkan, pada dasarnya ia setuju jika evaluasi pendidikan kembali diadakan. Namun yang harus diperhatikan pemerintah adalah jangan sampai evaluasi itu merugikan siswa dalam berbagai macam aspek.

4. Jangan boros anggaran

Selain itu, pada pelaksanaan evaluasi pendidikan yang di gagasan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasme) Prof. Abdul Mu'ti juga sebaiknya memperhatikan anggaran.

Memang benar, kata Satriwan, evaluasi pendidikan adalah amanat dari UU Sisdiknas, tetapi jangan sampai terlalu membebani dengan jumlah anggaran terlalu besar.

Misal berkaca pada pelaksanaan ujian nasional yang terakhir tahun 2021 itu anggarannya sampai memakan biaya Rp 500 miliar.

"Kemudian juga ada asesmen nasional di era Nadiem dengan biaya yang juga lumayan besar. Jangan sampai ujian nasional atau apapun namanya nanti itu, itu hanya aktivitas yang menguras pembiayaan dari APBN pendidikan saja. Tetapi tidak menjawab kebutuhan siswa. Tidak menjawab perintah dari UU Sisdiknas," lanjut dia.

5. Integrasi seleksi perguruan tinggi

Catatan terakhir adalah yang disorot Satriwan adalah kemungkinan hasil Ujian Nasional dijadikan bahan pertimbangan seleksi masuk perguruan tinggi negeri.

Menurut Satriwan, tidak cocok jika Ujian Nasional dijadikan salah satu cara untuk seleksi masuk perguruan tinggi negeri karena sistem penilaian yang berbeda antara di sekolah dan penilaian seleksi masuk perguruan tinggi negeri.

"Yang namanya ujian yang bersifat seleksi, karakteristik soalnya berbeda dengan ujian yang dilaksanakan di sekolah pada akhir siswa mengikuti proses pendidikan selama 3 tahun. Yang satu ujian keluar, yang satu ujian untuk masuk. Nah ini adalah dua skema asesmen yang berbeda. Jangan digabungkan. Nah yang kami khawatirkan ke depan yaitu Pak Menteri akan menggabungkan dua pola ini," jelas dia.

Satriwan memahami bahwa ada jenis seleksi masuk perguruan tinggi negeri ada yang menggunakan rapor dan prestasi selama di sekolah.

Namun tetap harus dikaji secara matang jika Ujian Nasional dijadikan salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Sebab tidak semua siswa memiliki tujuan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri.

"Jadi kalau mau diintegrasikan dengan ujian masuk perguruan tinggi negeri, si ujian nasional tadi itu mestinya sifatnya tidak wajib, melainkan opsional saja. Yaitu bagi siswa yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi negeri," pungkas Satriwan.

Berita ini sudah tayang di Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved