Serambi Ummah
Makan Balut Halal atau Haram? Ulama: Tergolong Bangkai karena Tak Disembelih
pro kontra soal halal atau haramnya makan balut, berikut penjelasan Dosen Darussalam Martapura Muhammad Syafiq SHI MH
Penulis: Rizki Fadillah | Editor: Rahmadhani
Ketiga, ijma’ ulama dari seluruh madzhab telah menetapkan secara konsisten, setiap hewan yang halal dagingnya tidak boleh dikonsumsi kecuali melalui penyembelihan syariat yang sah dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
Keempat, melalui qiyas sahih yang memenuhi seluruh rukun dan syarat, embrio balut dapat dianalogikan kepada bangkai hewan dewasa dengan ‘illat atau alasan hukum yang identik, yaitu mati tanpa penyembelihan syariat.
Berdasarkan kajian mendalam, dipaparkannya, seorang muslim dalam memilih makanan harus berpedoman pada prinsip-prinsip syariat yang telah mapan dengan landasan dalil yang kuat.
Kesimpulannya, integrasi antara pemahaman mendalam terhadap nash-nash syariat, pemanfaatan optimal instrumen sertifikasi resmi dan penerapan kehati-hatian maksimal akan mengantarkan Muslim pada pola konsumsi yang berkah dan diberkahi Allah Subhannahu Wa Ta’ala.
Denga begitu, terdapat beberapa faktor fundamental yang membuat balut menjadi kontroversial dalam perspekti hukum Islam.
Pertama, ambiguitas status biologis embrio. Balut berada dalam zona transisional antara telur konsumsi biasa dan hewan. Embrio dalam balut sudah mengalami perkembangan morfologis yang signifikan dengan organ-organ yang mulai berfungsi, namun belum sepenuhnya menjadi hewan dewasa. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan teologis yang kompleks tentang kapan tepatnya embrio dianggap “bernyawa” dalam konteks hukum Islam.
Kedua, ketiadaan proses penyembelihan syariat. Karena embrio dalam telur balut telah berkembang menjadi bentuk hewan yang hampir sempurna, memakannya dianggap sama dengan mengonsumsi bangkai. Balut digolongkan sebagai bangkai karena unggas yang ada di dalamnya tidak disembelih sesuai syariat Islam. Prinsip fundamental dalam hukum Islam mengharuskan setiap hewan yang dikonsumsi harus melalui proses penyembelihan dengan menyebut nama Allah.
Ketiga, tidak adanya nash eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadits. Balut tidak dikenal di zaman Rasulullah, sehingga penetapan hukumnya bergantung pada ijtihad ulama kontemporer melalui analogi (qiyas) terhadap prinsip-prinsip hukum yang sudah established, khususnya tentang bangkai dan tata cara penyembelihan.
Keempat, variasi interpretasi ulama. Sebagian ulama menerapkan pendekatan gradualistik berdasarkan tingkat perkembangan embrio, sementara ulama lain menerapkan prinsip kehati-hatian (ihtiyat) dengan mengharamkan secara absolut untuk menghindari syubhat.
Tak Perlu Menghakimi
WARGA Martapura, Siti Miftahur Rohmah, mengetahui jika Balut adalah makanan khas dari Thailand dan Filipina yang terbuat dari telur itik atau ayam yang sudah dibuahi dan dierami sampai embrionya terbentuk, kemudian direbus dan dimakan.
Miftah mengutip ayat Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 173, yang artinya “Allah telah mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan karena Allah”. Dan menurutnya, pada hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Allah juga menegaskan, agar tidak memakan hewan yang mati tanpa disembelih. “Kedua dalil ini menjadi landasan, hewan yang mati tanpa disembelih dengan cara syar`i, termasuk bangkai, adalah haram untuk dimakan,” ujar lulusan S2 Hukum Keluarga UIN Antasari ini.
Menurut Miftah, embrio dalam telur yang sudah membentuk tubuh hewan (sebagian ataupun hampir sempurna), menjadikan ia termasuk hewan yang wajib disembelih. Sedangkan proses pengolahan balut adalah embrio direbus hidup-hidup dalam cangkangnya tanpa ada penyembelihan. Hal Ini menjadikan statusnya haram.
Dikatakan Miftah, dalam kitab Nihyatuz-Zayn f Irsydil-Mubtadi’n karangan Syekh Nawawi al-Bantan, beliau menuliskan: ”Jika seseorang memecahkan telur dari hewan yang halal dimakan, lalu mendapati di dalamnya embrio anak ayam yang belum sempurna penciptaannya atau sudah sempurna tapi belum ditiupkan ruh, maka boleh dimakan. “Berbeda halnya jika sudah ditiupkan ruh dan anak tersebut mati tanpa disembelih secara syar’i, maka ia menjadi bangkai (tidak boleh dimakan),” katanya.
Adapun jika telur berasal dari hewan yang tidak halal dimakan, lalu didapati di dalamnya hewan (embrio) yang sudah sempurna ataupun belum sempurna penciptaannya, maka hewan itu tidak boleh dimakan.
| Aturan Mahar Pernikahan dalam Islam, KUA Kalumpang: Penghormatan bagi Wanita |
|
|---|
| Mahar Pernikahan Sesuai Kesepakatan, Bukan Syarat Sah Akad Nikah |
|
|---|
| Adab Makan Sesuai Syariat Islam, MUI Balangan: Jadikan Makanan Pembawa Berkah dan Tidak Mubazir |
|
|---|
| Tokoh Agama Berperan Jaga Keharmonisan, Tanamkan Nilai-nilai Segar Membangun |
|
|---|
| Kiprah Ustadz Muhammad Syafiq SHI MH di Bidang Dakwah, Sebar Ilmu hingga ke Pegunungan Meratus |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.