Jendela
Bendera bajak Laut
Bendera menghadirkan persatuan bagi kelompok manusia, entah itu suku, tim olahraga, organisasi, lembaga, atau bangsa
Mujiburrahman, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
BANJARMASINPOST.CO.ID- ENTAH bagaimana asal mula ceritanya, menjelang HUT ke-80 RI tahun ini, selain mengibarkan bendera merah putih, sebagian warga juga memasang bendera kapal bajak laut (Jolly Roger).
Bendera bajak laut yang viral kali ini berwarna dasar hitam, bergambar tengkorak, tulang bersilang, dan bertopi jerami, yang semula tampil dalam serial anime One Piece karya Eiichoro Oda. Konon, bendera ini merupakan simbol perlawanan terhadap penguasa yang menindas dan memeras rakyat.
Seperti biasa dalam setiap kontroversi, ada orang yang setuju, ada yang tidak, dan ada pula yang tak peduli. Bagi yang setuju, pemasangan bendera itu adalah wajar di alam demokrasi yang menjamin kebebasan berekspresi.
Bagi yang tidak setuju, penayangan bendera itu dapat menodai kemuliaan peringatan kemerdekaan kita. Bahkan jika bendera bajak laut itu dipasang bersama dengan bendera merah putih dengan cara yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka pelakunya bisa dituntut secara hukum. Adapun bagi yang tak peduli, dia tentu tak mau tahu dengan urusan ini.
Bendera adalah simbol, lambang, atau tanda. Setiap tanda mengandung makna, menghadirkan yang abstrak menjadi konkret, yang batin menjadi zahir. Pikiran, perasaan, dan sikap manusia itu bersifat batiniah, dan baru bisa diketahui melalui simbol yang menghadirkannya.
Simbol itu bisa berupa bahasa, bisa pula berupa benda atau isyarat. Bahasa itu ada yang lisan berupa suara, dan ada pula tulisan berupa huruf. Bahasa isyarat biasanya berupa gerak-gerik. Adapun bendera, ia termasuk simbol jenis benda, berupa kain yang berwarna dan/atau bergambar tertentu.
Sebagai simbol, bendera memang istimewa. Ia tidak hanya menghadirkan makna seperti merah artinya berani dan putih artinya suci, tetapi juga menghadirkan kebersamaan. Bendera menghadirkan persatuan bagi kelompok manusia, entah itu suku, tim olahraga, organisasi, lembaga, atau bangsa.
Menurut Emile Durkheim, simbol yang menghadirkan kebersamaan itu bagi para penggunanya dianggap sakral, istimewa, bahkan bertuah. Simbol itu seolah memiliki kekuatan batin yang mengikat satu kelompok manusia. Karena itu, menghinakannya bisa menimbulkan amarah kolektif.
Dengan demikian, yang paling krusial di balik kontroversi bendera sebagai simbol adalah makna yang dikandungnya dan kebersamaan yang dihadirkannya. Sebagai rakyat Indonesia, sejak kecil kita sudah diajarkan menghormat kepada bendera merah putih.
Merah adalah lambang keberanian melawan penjajahan, “karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Putih adalah lambang kesucian dan ketulusan dalam upaya mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, dan semua hukum yang menjadi turunannya. Inilah yang mempersatukan kita sebagai bangsa.
Di sisi lain, bendera bajak laut itu bukanlah bendera resmi sebuah negara. Bahkan dalam kasus yang sekarang, bendera itu diambil dari cerita fiksi kartun belaka.
Bagi para pendukungnya, tampaknya bendera itu ditampilkan bukan untuk mengganti merah putih, melainkan untuk mengungkapkan berbagai kekecewaan terhadap negara selama ini, seperti korupsi gila-gilaan, kesenjangan ekonomi yang lebar, dan berbagai layanan publik yang buruk.
Bagi sebagian orang, bendera bajak laut itu adalah pengingat bahwa cita-cita negara kita masih banyak yang belum terwujud.
Kepada siapakah kritik bendera bajak laut itu ditujukan? Mungkin banyak orang akan segera tanpa ragu menunjuk hidung pemerintah. Hal ini wajar karena tanggung jawab melaksanakan amanah negara, yakni mensejahterakan rakyat, diberikan kepada pemerintah.
Kalau kita menggunakan trias politica Montesquieu, maka yang dituju oleh kritik ini adalah para eksekutif (presiden, kabinetnya hingga ke bawah), legislatif (DPR dan MPR), dan yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan lembaga peradilan lainnya). Singkatnya, semua orang yang diberi kuasa mengelola negara ini. Namun, kiranya tidak adil jika segala salah diarahkan ke pemerintah semata. Pemerintah suatu negara, sedikit banyak, adalah juga cermin dari rakyatnya.
Dalam sistem demokratis saat ini, para anggota DPR, bupati/walikota, gubernur, presiden beserta wakil masing-masing, dipilih langsung oleh rakyat.
Jika mayoritas rakyat hanya akan memilih calon yang membayar mereka (politik uang), maka mereka juga turut berkontribusi bagi maraknya korupsi di negeri ini. Jika sebagian rakyat suka menyogok aparat hukum, maka mereka juga turut berdosa menciptakan mafia hukum.
Tentu saja, jika ditimbang-timbang, kesalahan rakyat biasa tak sebanding dengan penguasa. Rakyat biasa mungkin hanya dapat ratusan ribu rupiah saat pemilu lima tahun sekali, sedangkan penguasa mengambil balik berlipat-lipat.
Jika pengusaha kaya bisa mendanai politisi milyaran bahkan trilyunan rupiah, maka “keuntungan balik” yang diambilnya tentu sangat banyak. Kesalahan kaum ulama dan cendekiawan tentu tak sama dengan kesalahan orang awam. Namun, kesalahan tetaplah kesalahan, kecil atau besar. Kesalahan kecil yang dilakukan oleh banyak orang juga bisa menjadi besar.
Karena itu, marilah kita jadikan bulan Agustus kali ini sebagai momentum bersama untuk introspeksi, mengevaluasi kesalahan masing-masing. Sebuah pengingat, entah berupa ucapan, tulisan, ataupun bendera, sebaiknya kita lihat secara positif, agar kita tidak terjerumus ke jurang kehancuran. Seperti kata Bung Hatta, “persatuan bukan persatean”. Daging sate bersatu karena dipaksa dengan tusuk sate. Persatuan harus lahir dari kesadaran, bukan paksaan. Jangan sampai seperti diungkapkan Al-Qur’an, “Kau kira mereka bersatu, padahal hati mereka berseteru” (QS 59:14). (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.