Jendela

Joki, AI, dan Bodoh Kuadrat

Perjokian dan penyalahgunaan AI di dunia akademik tak terlepas dari logika pasar. Ketika muncul kebutuhan, maka ada pula muncul peluang bisnis

Editor: Hari Widodo
ISTIMEWA
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Mujiburrahman. 

Mujiburrahman, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID- SAAT apel bersama civitas akademika UIN Antasari, pagi Kamis, 17 Juli 2025 kemarin, saya antara lain menyampaikan berita utama koran Banjarmasin Post hari itu perihal perjokian karya akademik. Wartawan menemukan fakta bahwa ada orang-orang tertentu yang mencari duit dengan cara menjual jasa penulisan tugas mata kuliah hingga skripsi dengan tarif ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Mereka membuat iklan di media sosial dan berkomunikasi secara elektronik.

Joki yang dimaksud di sini adalah orang yang dibayar mengerjakan tugas akademik orang lain. Selain itu, ada juga joki ujian masuk perguruan tinggi. Dia ikut ujian masuk atas nama seseorang yang membayarnya. Baik joki karya akademik ataupun joki ujian masuk, keduanya sama-sama menipu. Seharusnya yang mengerjakan tugas akademik itu adalah orang yang diatasnamakannya, sehingga dengan itu dia layak menerima pengakuan seperti lulus ujian, mendapatkan nilai akademik hingga gelar sarjana. Singkat kalimat, perjokian itu merusak dan mengkhianati integritas akademik.

Mengapa orang tergoda menggunakan jasa joki? Pertama, karena tidak mampu, tetapi ingin mencitrakan diri sebaliknya. Dia sebenarnya tidak mampu mengerjakan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi, tetapi ingin kuliah di kampus ternama. Begitu pula, dia tidak mampu meneliti dan menulis skripsi, tesis atau disertasi, tetapi ingin meraih gelar sarjana. Baginya, yang penting mendapatkan pengakuan formal, bahwa dia lulus masuk sebuah perguruan tinggi, atau dia berhasil menyelesaikan S-1, S-2 atau S-3, dengan gelar tertentu. Persetan dengan etika akademik!

Kedua, dia mungkin mampu, tetapi malas atau tidak punya waktu, namun ingin mendapatkan gelar sarjana. Seperti diakui oleh seorang joki yang diwawancarai wartawan, kebanyakan pelanggannya adalah anak-anak orang berduit tetapi malas. Begitu pula kita dengar, ada pejabat yang ingin meraih gelar sarjana, tetapi dia sangat sibuk dan/atau malas. Akhirnya dia menyuruh dan membayar anak buahnya atau orang lain untuk mengerjakan tesis atau disertasinya. Dua kepentingan bertemu. Yang satu perlu karya ilmiah, yang satu lagi perlu duit. Akhirnya terjadilah transaksi.

Hal semacam itu juga bisa terjadi di kalangan akademisi sendiri. Misalnya, seorang dosen yang ingin naik pangkat, meminta dosen yang lebih muda untuk membuatkan karya ilmiah atas namanya, yang kemudian diterbitkan di jurnal bereputasi. Si dosen muda mungkin mengerjakannya dengan senang hati karena dibayar oleh seniornya atau terpaksa karena takut dan segan. Mungkin pula, dosen menipu mahasiswanya. Dia membimbing mahasiswa menulis tugas akhir. Setelah selesai, karya si mahasiswa diterbitkan sebagai karya si dosen tanpa menyebutkan nama mahasiswanya.

Masalah tambah rumit ketika kita berhadapan dengan AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan imitasi. Orang tak perlu lagi bertransaksi dengan manusia, tetapi dengan mesin saja. Tinggal tulis apa yang diinginkan, AI segera memberikan jawaban. Hasilnya kadang kala bagus. Kalimat-kalimatnya tertata rapi, sistematis, dengan referensi yang lengkap. Jika kita tak waspada dan cermat, kita akan mengira bahwa karya akademik tersebut memang asli buatan si penulis, bukan mesin. Dalam kasus ini, orang tak perlu lagi membayar joki. Tinggal membeli AI dan tahu cara menggunakannya.

Semua ini adalah masalah etika. Pelanggaran etika akademik sejauh ini memang bukan ranah pidana. Belum ada kiranya pengguna dan penjual jasa perjokian atau penguna AI terkait karya ilmiah yang dipidanakan. Yang bisa dihukum hanyalah mahasiswa, dosen, dan lembaga akademik. Skripsi/tesis/disertasi yang palsu, entah dikerjakan oleh joki atau menjiplak, bisa dibatalkan dan gelarnya dicabut. Dosen yang melanggar etika akademik dapat diturunkan pangkatnya. Perguruan tinggi yang terbukti melanggar etika akademik bisa diturunkan peringkat akreditasinya.

Khusus soal AI, bagaimanakah sikap yang bijak terhadapnya? Menolak AI secara mutlak sama dengan menyangkal kenyataan. Kenyataannya, AI bisa diakses oleh siapa saja, baik yang gratis atau berbayar. Rasanya hampir mustahil bisa melarang orang menggunakan AI. Di sisi lain, membuka pintu selebar-lebarnya juga akan bermasalah. Orang akan bebas membuat kepalsuan-kepalsuan akademik dan malas berpikir. Jalan tengahnya mungkin adalah regulasi akademik yang menjadikan AI sebagai alat bantu, bukan guru-penentu, dan pengguna wajib membuat pengakuan bahwa dia menggunakan AI.

Tak bisa disangkal bahwa perjokian dan penyalahgunaan AI di dunia akademik tak terlepas dari logika pasar. Ketika muncul kebutuhan, maka muncul pula peluang bisnis. Ada permintaan, ada pula persediaan. Semakin banyak yang memerlukan, semakin berkembanglah bisnis ini, dan semakin tinggi nilainya secara ekonomi. Sampai hari ini, kuliah di perguruan tinggi dan gelar akademik masih laku sebagai simbol sosial dan budaya, yang pada gilirannya juga bernilai ekonomis/uang. Karena itu, wajar jika jasa perjokian yang melanggar etika akademik bisa tumbuh dan berkembang.

Untuk melawannya, mungkin perlu sanksi yang tegas terhadap pengguna dan penjual jasa sekaligus. Kita juga perlu alat dan strategi yang dapat mendeteksi pelanggaran akademik. Di atas segalanya, kita perlu komitmen moral yang berpijak pada kesadaran bahwa tanpa kejujuran akademis, ilmu dan teknologi takkan bisa maju. Buku, gelar, bahkan teknologi, bisa dibeli, tetapi ilmu tidak. Ilmu harus dipelajari. Ilmu hanya akan berkembang dengan penelitian yang jujur. Jika di dunia pendidikan saja kita tak jujur, bagaimana pula kita takkan culas dalam urusan lainnya?

Harus diakui, sangat sulit untuk memberantas pelanggaran etika akademis itu secara mutlak. Seperti pelacuran, selama pelanggan masih ada, pelacuran pun akan terus ada. Begitu pula “pelacuran” intelektual. Namun, dengan kesadaran moral yang tinggi dan regulasi yang tepat, kita bisa menekannya seminimal mungkin. Orang harus sadar bahwa bangga dengan kepalsuan akademik adalah bodoh kuadrat (jâhil murakkab). Dia bodoh, tetapi tidak sadar bahwa dirinya bodoh! (*)

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Umar Dikritik

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved