Tajuk

Tidak Cukup Kata Merdeka

BESOK, Minggu 17 Agustus 2025, tepat 80 tahun Indonesia menjadi negara merdeka. Berdaulat penuh untuk menentukan nasibnya.

Editor: Edi Nugroho
Banjarmasinpost.co.id/Stanislaussene
SAMBUT HUT RI- Ilustrasi: Senam sehat menyambut HUT ke-80 digelar di Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel, Rabu (13/8/2025). 

BESOK, Minggu 17 Agustus 2025, tepat 80 tahun Indonesia menjadi negara merdeka. Berdaulat penuh untuk menentukan nasibnya. Namun, kemerdekaan  bukan garis akhir. Sebaliknya, titik awal dari perjalanan panjang bernama “membangun bangsa”. Selain itu, kita juga tak boleh lelah terus mengajukan pertanyaan, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka?

Merdeka kerap dipahami sebagai kebebasan dari penjajahan fisik oleh bangsa lain. Sejarah mengajarkan, kemerdekaan yang hakiki jauh lebih luas maknanya. Ia adalah kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, dan kebebasan untuk menentukan arah hidup bangsa sesuai cita-cita bersama.

Dalam konteks saat ini, ancaman terhadap kemerdekaan tidak lagi selalu berbentuk senjata dan kolonialisme klasik, melainkan kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakadilan hukum, hingga disinformasi yang merusak persatuan.

Indonesia kini di persimpangan zaman: era globalisasi, disrupsi teknologi, dan persaingan geopolitik yang makin tajam. Di satu sisi, dunia digital membuka peluang ekonomi, pendidikan, dan inovasi.

Baca juga: Pria di Teluk Tiram Ini Tewas Diserang Saat Pasang Bendera, Situasi Gotong Royong Mencekam

Baca juga: BREAKING NEWS: Pria di Teluk Tiram Banjarmasin Tewas Diserang, Pelaku Diduga Pria Mabuk

Namun di sisi lain, ia membawa ancaman berupa hoaks yang memecah belah, ujaran kebencian, dan penetrasi budaya asing. Kemerdekaan di era sekarang sejatinya adalah kemampuan mempertahankan jati diri sambil beradaptasi dengan perubahan global.

Ekonomi nasional pun masih menghadapi tantangan berat. Ketimpangan pendapatan, pengangguran, dan ketergantungan pada impor menunjukkan bahwa kemerdekaan ekonomi belum sepenuhnya terwujud. Kemerdekaan sejati menuntut kemandirian, dari pangan hingga teknologi, agar bangsa ini tidak mudah terguncang oleh gejolak dunia.

Wujud lain kemerdekaan adalah demokrasi. Namun demokrasi tidak boleh hanya menjadi ritual lima tahunan di bilik suara. Ia harus hadir dalam kehidupan sehari-hari: kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab, keterbukaan informasi publik, dan keberpihakan pada rakyat kecil. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menjaga perbedaan sebagai kekuatan, bukan memelihara polarisasi demi kepentingan segelintir elite.

Merdeka juga berarti setiap anak bangsa memiliki kesempatan sama untuk maju. Tidak terhalang status sosial, asal daerah, atau latar belakang ekonomi. Kenyataannya, masih terjadi ketimpangan akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan lapangan kerja.

Ketimpangan-ketimpangan ini adalah bentuk lain dari penjajahan yang harus dihapuskan. Tanpa keadilan sosial, kemerdekaan hanya akan menjadi slogan kosong. Sekadar sebuah kata yang mudah diteriakkan.

Kemerdekaan sejati terwujud ketika setiap warga negara bebas dari rasa takut, bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, dan bebas dari ketidakadilan. Merdeka adalah ketika bangsa ini mampu berdiri tegak dengan kepala tinggi, menentukan nasibnya sendiri. Tidak bergantung pada kekuatan asing.

Di tengah tantangan zaman, makna kemerdekaan pun harus terus diperbarui. Dari sekadar kata dan simbol, menjadi realitas yang dirasakan seluruh rakyat Indonesia. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved