Oleh: Tita Rosy, S.ST, MP
Fungsional Statistik Ahli Madya BPS Provinsi Kalsel
BANJARMASINPOST.CO.ID - BADAN Pusat Statistik (BPS) secara resmi telah mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 sebesar 5,03 persen. Angka pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024 ini apabila dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi pada periode sebelumnya di tahun 2023 yang tumbuh 5,05 persen dapat dikatakan relatif agak mengalami perlambatan.
Perlambatan terjadi pada banyak sektor salah satunya disumbang oleh sektor pertanian. Produksi padi nasional tahun 2024 mengalami penurunan sebesar 1,55 persen atau setara dengan 838,27 ribu ton.
Apabila ditelusuri dari sisi permintaan, perlambatan ekonomi nasional terjadi karena peningkatan impor. Impor pada tahun 2023 mengalami kontraksi atau tumbuh negatif sebesar 1,6 persen. Selanjutnya pada tahun 2024 impor tumbuh relatif tinggi yaitu sebesar 7,95 persen.
Komponen konsumsi rumah tangga merupakan komponen yang dominan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi permintaan.
Secara matematis dapat dikatakan apabila konsumsi rumah tangga meningkat, maka pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Pengeluaran konsumsi rumah tangga tahun 2024 tumbuh 4,97 persen. Pertumbuhan konsumsi 2024 menguat dibanding 2023 yang tumbuh sebesar 4,82 persen.
Namun perlu diingat dari sisi permintaan, PDB menginput impor sebagai pengurang. Apabila konsumsi rumah tangga menggunakan produk yang berasal dari impor luar negeri, maka dapat dimungkinkan terjadi saling hapus antara kedua nilai komponen ini dalam perekonomian. Selama tahun 2024, nilai impor barang konsumsi mengalami peningkatan sekitar 5,37 persen. Konsumsi rumah tangga erat kaitannya dengan perubahan harga secara umum atau yang dikenal dengan istilah inflasi atau deflasi.
Deflasi dalam Pertumbuhan Ekonomi
Tahun 2024 juga diwarnai oleh deflasi berantai selama lima bulan berturut-turut. BPS mencatat tren penurunan Indeks Harga Konsumen atau disebut dengan deflasi secara beruntun selama lima bulan berturut-turut selama tahun 2024. Sejak bulan Mei hingga September 2024, Indonesia membukukan deflasi secara month to month.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi kelompok utama penyumbang deflasi. Beberapa komoditas yang menjadi penyumbang deflasi di antaranya berasal dari komoditas volatile foods seperti daging ayam ras, bawang merah, cabai merah, serta cabai rawit. Selain barang-barang dengan harga bergejolak, pada bulan September 2024 kondisi deflasi juga turut diperdalam oleh penurunan harga BBM nonsubsidi.
Apabila ditelusuri lebih spesifik pada kelompok makanan, komoditas-komoditas yang mendorong terjadinya deflasi secara beruntun justru merupakan komoditas makanan yang relatif banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Bawang merah, cabai merah, dan cabai rawit merupakan tiga besar komoditas jenis sayur-sayuran yang banyak dikonsumsi. Ketiga komoditas ini secara perkapita dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dengan nilai total konsumsi dalam seminggu mencapai Rp 5.474 atau setara dengan 39 persen lebih dari nilai konsumsi kelompok sayuran (nilai konsumsi kelompok sayuran Rp 13.997).
Adapun konsumsi daging ayam ras dan telur ayam ras sebagai hasil produksi subsektor peternakan juga cukup dominan di dalam kelompoknya masing-masing. Lebih dari separuh (57,98 persen) konsumsi perkapita masyarakat Indonesia terhadap kelompok komoditas daging berasal dari daging ayam ras.
Komoditas pertanian memegang peranan sangat penting dalam fluktuasi harga di tingkat konsumen yang direpresentasikan lewat Indeks Harga Konsumen kelompok volatile goods atau yang dikenal juga dengan volatile foods. Besarnya peran sektor pertanian juga tergambar pada 2.791,43 triliun rupiah nilai tambah yang mampu dihasilkan pada tahun 2024 atau setara dengan 12,61 persen kue ekonomi nasional (sebagai kontributor ketiga setelah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan).