BANJARMASINPOST.CO.ID, PELAIHARI - Penghentian sementara pembangunan resort mewah di Desa Pagatanbesar, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanahlaut (Tala), Kalimantan Selatan (Kalsel), terus memantik respons dari berbagai kalangan.
Sebagai informasi, Kamis (24/4/2025), penghentian tersebut dilakukan oleh Tim Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI pada pertengahan Maret 2025 lalu. Langkah ini menyusul belum adanya perizinan lingkungan (amdal) pada pembangunan resort yang dibangun di kawasan pesisir pantai tersebut.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono SP MLing mengatakan pembangunan resort mewah di pesisir yang semula digadang-gadang sebagai ikon pariwisata baru, justru menunjukkan wajah nyata dari praktik pembangunan yang rakus ruang, abai terhadap lingkungan, dan mencederai hak-hak masyarakat lokal.
Pihaknya menduga kuat proyek resort tersebut melanggar aturan sempadan pantai, zona lindung ekologis yang mestinya bebas dari aktivitas pembangunan masif.
"Apalagi ini bentuk privatisasi ruang yang seharusnya adalah ruang publik," tandasnya.
Baca juga: Pembangunan Resort Mewah di Pagatanbesar Tala Terhenti, Kades Buka Suara dan Berharap Ini
Baca juga: BREAKING NEWS - Ramai Kabar Pantai Karindangan di Takisung Tala Dijual, Begini Penuturan Pemilik
Dugaan pelanggaran tersebut, ia sebut bukan sekadar kesalahan administratif, tapi bentuk nyata pembangkangan terhadap prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ironinya dugaan pelanggaran itu terjadi dan berjalan cukup jauh tanpa pengawasan ketat dari pemerintah daerah. "Ini menandakan adanya kelalaian, atau bahkan kompromi politik, yang membiarkan investor bertindak semaunya tanpa kontrol," sebutnya.
Pihaknya berpandangan pembangunan resort itu mengorbankan masyarakat dan ekosistem. Kawasan pesisir Takisung bukan ruang kosong yang bisa seenaknya dirombak jadi bisnis elite.
"Itu adalah ruang hidup nelayan, sumber penghidupan ribuan warga, sekaligus benteng alami dari ancaman abrasi dan krisis iklim," tukasnya.
Pembangunan resort di kawasan tersebut dikatakannya tak cuma mengganggu ekosistem pesisir. Namun juga berpotensi menggusur masyarakat secara perlahan, baik secara fisik maupun ekonomi.
Baca juga: Viral Pria di Banjarbaru Tepergok Intip Hubungan Intim Pasangan Suami-Istri, Ini Kata Kapolsek
Baca juga: Heboh Jajanan Mengandung Babi, Pedagang di Banjarmasin Pernah Lihat Marshmallow Mobil
Rafiq menyebut tidak ada proses konsultasi publik yang terbuka dan abai partisipasi publik, tidak ada analisis dampak lingkungan (Amdal) yang benar-benar melibatkan suara masyarakat.
"Apa artinya pembangunan jika justru menciptakan ketimpangan baru dan memarjinalkan warga lokal?" ucapnya.
Pihaknya mempertanyakan bagaimana proyek sebesar ini bisa berjalan tanpa alarm dari pemerintah daerah sejak awal. Di mana fungsi pengawasan dinas lingkungan hidup.
"Bagaimana mungkin izin bisa diterbitkan di zona yang secara hukum adalah kawasan lindung?" tandas Rafiq.