Berita Viral
Labrak Guru SMP di Rumahnya, Wali Murid Lalu Memukulnya Dua Kali, Tak Terima Hp si Anak Disita
Labrak guru SMP di rumahnya, wali murid lalu memukulnya. Dia tak terima hp si anak murid itu disita. Peristiwa ini terjadi di Trenggalek, Jawa Timur.
Ringkasan Berita:
- Wali murid tak terima hp si anak murid disita guru SMP
- Dia lantas melabrak rumah guru SMP itu lalu memukulnya dua kali
- Sang guru lantas melaporkan kejadian pada polisi
BANJARMASINPOST.CO.ID - Labrak guru SMP di rumahnya, wali murid lalu memukulnya. Dia tak terima hp si anak murid itu disita.
Peristiwa ini terjadi di Trenggalek, Jawa Timur. Ini menimpa guru SMPN 1 Trenggalek, Eko Prayitno.
Pria yang menjadi guru mata pelajaran seni budaya tersebut menjadi korban penganiayaan oleh wali murid setelah menyita telepon genggam dari salah satu siswa yang menggunakan ponsel di luar kebutuhan pembelajaran, Jumat (31/10/2025).
Wali murid tersebut tidak terima dan melabrak rumah Eko di Desa Kedungsigit, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek.
Di depan rumahnya tersebut Eko mendapatkan pukulan di wajah hingga dua kali.
Eko telah melaporkan kasus penganiayaan tersebut ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) hari itu juga dan berharap keadilan bisa ditegakkan.
Baca juga: Bejatnya Pria Lecehkan Wanita yang Sedang Sujud Kala Sholat di Masjid, Terekam CCTV, Motif Disorot
"Kejadiannya kemarin setelah Jumatan di depan rumah saya, kurang lebih pukul 12.30 WIB," kata Eko, ditemui di Mapolres Trenggalek, Jalan Brigjen Soetran, Kelurahan Ngantru, Kecamatan/Kabupaten Trenggalek, Sabtu (1/11/2025).
Saat itu Eko baru saja pulang dari masjid untuk menunaikan Salat Masjid.
Di depan rumahnya ia sudah ditunggu oleh seseorang berinisial A.
Orang tersebut bertanya kepada Eko, apakah ia guru SMPN 1 Trenggalek yang menyita HP adiknya.
"Saya jawab iya, lalu ia tanya macam-macam membentak - bentak, lalu memukul saya, menarik baju kerah saya" lanjut Eko.
Eko menyita gawai siswa perempuan berinisial N tersebut bukan tanpa alasan.
Baca juga: Kekurangan Guru di Trenggalek Jadi Sorotan PGRI, Tawarkan Opsi Moving Class Hingga Penugasan Silang
Menurutnya telepon selular siswa boleh dibawa ke sekolah namun harus dimasukkan ke loker yang telah disediakan.
Jika pada saat pembelajaran tanpa seizin guru mata pelajaran jam tersebut ada siswa bermain telepon genggam maka termasuk pelanggaran yang bisa disita sekolah selama satu semester.
Sedangkan pada saat jam pelajaran, Eko membagi siswa menjadi 8 kelompok. Ia memang mengizinkan satu kelompok menggunakan dua HP untuk mendukung proses tugas yang ia berikan.
Pada saat itu ia sudah memperingatkan agar tidak menggunakan ponsel untuk aktivitas lain kecuali untuk mendukung tugas atau jika melanggar maka ponsel akan ia sita.
Jam pelajaran Eko terjeda oleh jam makan bergizi gratis (MBG), saat siswa sudah mulai selesai menyantap makanannya dan mengumpulkan ompreng, ada siswi yang bernama N asyik bermain HP sendiri.
"Kelompoknya belum kumpul tapi sudah main HP sendiri, saya pikir anak ini rajin mungkin untuk mendukung tugas yang saya berikan," ucapnya.
Namun saat Eko mendekat, ternyata siswi tersebut tidak menggunakan ponselnya untuk pembelajaran.
Setelah siswa berkumpul, di dalam kelas. Ia kembali mengingatkan bahwa ia sudah memperingatkan agar tidak menggunakan HP untuk digunakan diluar tujuan pelajaran.
Eko lalu menanyakan siswi tersebut apakah menggunakan ponsel di luar tujuan pelajaran dan siswi tersebut mengakuinya, termasuk ia menanyakan apakah Jumat pekan lalu siswi tersebut melakukan perbuatan yang serupa, dan siswi tersebut kembali mengakuinya.
"Jumat kemarin saya di belakang tahu kejadian itu, hanya saja saat itu belum saya tegur," ucapnya.
Setelah kejadian tersebut, ia meminta HP siswa tersebut untuk meletakkannya di atas meja guru namun siswi tersebut menolak, barulah ketiga kalinya ia meminta siswi tersebut menyerahkan HP tersebut yang kemudian ia pinggirkan.
"Saya lalu mencontohkan siswa memberi motivasi, ada bak sampah kosong saya isi air, saya ambil batu saya masukkan. Kalau HP sudah saya masukkan seperti ini, HP mati, tidak bisa digunakan," kata Eko.
Sebagian siswa tahu jika yang dimasukkan ke bak sampah berisi air tersebut adalah batu, namun siswi N berpikir bahwa itu adalah HP miliknya.
"Saat pulang siswi tersebut sudah menghadap kesiswaan, dia bilang HP nya rusak dibawa Pak Eko sudah tidak punya HP lagi," ucapnya.
Eko sendiri juga menyerahkan HP tersebut ke kesiswaan dalam keadaan utuh.
Bagian kesiswaan sudah sempat menjelaskan kepada siswi tersebut namun siswi tersebut pulang dengan keadaan menangis.
"Saya juga pulang, belum sampai saya duduk, ayah N menelpon saya, mau mengajak berkelahi dan lain-lain, saya tuturkan bagaimana kronologi nya juga tidak mempan, intinya kenapa HP tidak diberikan ke siswa, saya jawab besok pagi (dikembalikan) di Pak Muji kesiswaan, HP tidak saya bawa," ucap Eko.
Ayah siswa tersebut juga menanyakan kepada Eko kenapa HP anaknya dirusak. Eko kembali menjelaskan kepada ayah siswa tersebut baik-baik namun tetap tidak terima.
"Setelah itu saya solat Jumat, lalu pulang ada pemukulan itu," tutup Eko.
Guru Masih Rentan Terjerat Hukum dalam Mendidik Siswa
Berbagai kasus kekerasan hingga kriminalisasi yang dialami guru, khususnya dalam konteks pengajaran dan pendisiplinan siswa, menunjukkan betapa rentannya tenaga pendidik terhadap jeratan hukum saat menjalankan tugasnya.
Karena itu, perbaikan sistem perlindungan hukum untuk mendukung guru dalam melaksanakan tugas pendidikannya dengan aman dan nyaman kian dibutuhkan.
Untuk memperkuat pemahaman hukum dan advokasi bagi guru, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar webinar bertajuk ”Waspada Kriminalisasi Guru, Pahami Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Pendidik,” Minggu (17/11/2024).
Pendiri KGSB Ruth Andriani mengatakan, kegiatan ini bertujuan memperkuat pemahaman hukum para guru.
Menurut Ruth, kasus kriminalisasi guru sering terjadi karena kurangnya pemahaman akan batasan dalam mendisiplinkan siswa. Ia menyoroti Undang-Undang Perlindungan Anak kerap menjadi dasar pemolisian terhadap guru.
”Kita perlu dukungan hukum yang jelas agar tindakan pendisiplinan tidak dianggap sebagai tindak kriminal. Namun, guru juga harus memahami batasan dalam mendisiplinkan siswa, tidak boleh ada kekerasan, baik fisik maupun verbal,” ujarnya dikutip Kompas.id.
Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2017-2021 yang sekarang aktif mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menyarankan agar guru melakukan proses perenungan terlebih dahulu ketika terseret masalah hukum dalam konteks pengajaran.
”Semestinya, hal pertama harus dilakukan adalah merenungkan dulu apa yang menjadi penyebab sehingga timbul masalah itu. Namun, yang sering terjadi, kita sibuk dulu dengan akibatnya,” katanya.
Menurut Asfinawati, penting bagi pendidik untuk memahami cara mendisiplinkan siswa yang tidak melanggar batasan hukum.
Menyentuh tubuh siswa atau menerapkan bentuk hukuman yang melibatkan kekerasan, baik fisik maupun psikologis dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia yang sudah diatur dalam konvensi internasional.
Sebagai alternatif, guru bisa memberikan hukuman sosial yang lebih mendidik, seperti tugas berkomunitas atau aktivitas sosial.
”Inspirasi tindakan pendisiplinan harus dipikirkan ulang agar tidak hanya sesuai hukum, tetapi juga tetap memberikan nilai pendidikan bagi siswa,” kata Asfinawati.
Asfinawati menjelaskan, perlindungan hukum bagi guru sebenarnya telah diatur dalam berbagai regulasi, antara lain, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Pada bagian kedua tentang Hak dan Kewajiban, sesuai Pasal 14 Ayat 1(f), guru memiliki kebebasan untuk memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, hingga sanksi kepada siswa sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik, dan peraturan perundang-undangan.
Menurut Asfinawati, undang-undang itu sebenarnya sudah cukup kuat dalam mengatasi potensi kriminalisasi guru.
Namun, ia mengakui, implementasinya di lapangan sering tidak berjalan sesuai harapan.
Banyaknya kasus kriminalisasi guru adalah cerminan tidak dilaksanakannya hukum acara pidana secara benar serta kurangnya literasi hukum, baik di kalangan guru maupun masyarakat.
”Hukum sebenarnya sudah cukup kuat untuk melindungi guru, tetapi yang sering terjadi adalah salah penerapan hukum acara pidana,” katanya.
Terkait perlindungan tugas guru secara riil di lapangan, ia merekomendasikan pembentukan paralegal sebagai salah satu langkah advokasi hukum untuk guru.
Paralegal adalah orang yang memiliki keterampilan hukum dan telah mengikuti pelatihan untuk membantu masyarakat yang bermasalah dengan hukum, tetapi bukan pengacara.
Paralegal bekerja di bawah bimbingan pengacara atau dengan kemampuan hukum yang dinilai cukup.
Seorang guru sedang mengajar di SD Bonaventura Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, 21 November 2013.
Paralegal, ujar Asfinawati, dapat menjadi pendamping hukum pertama bagi guru yang menghadapi masalah hukum. Keberadaan paralegal ini penting mengingat kebanyakan LBH berada di Pulau Jawa dan maksimal di ibu kota kabupaten, sementara banyak guru yang domisilinya tersebar di berbagai pelosok Tanah Air.
”Paralegal adalah solusi praktis, terutama bagi guru di daerah pelosok yang jauh dari akses layanan hukum formal. Mereka bisa membantu menyusun kronologi, mendampingi di proses kepolisian, hingga memberikan konsultasi nonlitigasi,” ujarnya.
Pertolongan pertama paralegal yang paling penting adalah mendampingi saat berita acara pemeriksaan (BAP) pertama yang sangat menentukan proses hukum selanjutnya.
Selain itu, Asfinawati juga merekomendasikan langkah strategis dalam bentuk kerja sama yang lebih erat, seperti penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU), antara organisasi guru dan kepolisian, untuk melindungi guru dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, alangkah baiknya perlindungan secara internal di sekolah juga diperkuat dengan adanya Satuan Tugas (Satgas). Satgas ini tidak hanya bertugas untuk melindungi guru, tetapi juga siswa dari berbagai potensi perundungan, pelecehan seksual, dan ancaman yang membahayakan.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru Muhammad Mukhlisin, meminta pemerintah dan DPR untuk memikirkan perlindungan bagi para guru dalam menjalankan profesinya. Saat ini, kondisi pendidikan karakter di sekolah sedang tidak baik-baik saja.
Ini terbukti dengan tingginya angka kekerasan yang terjadi baik oleh guru ke siswa, siswa ke siswa, maupun siswa ke guru.
”Guru tidak bisa serta-merta dikriminalisasi dan dipidanakan karena diduga melakukan kekerasan, perlu ada pemeriksaan dan pembuktian dari segi etik, apakah betul guru menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendisiplinkan anak.” kata Mukhlisin.
Menurut dia, sejak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menerbitkan Permendikbud No 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, timbul kesadaran masyarakat tentang definisi dan jenis-jenis kekerasan di satuan pendidikan.
Dampaknya, masyarakat semakin proaktif mengawasi dan melaporkan bilamana terjadi kekerasan.
”Sayangnya, tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) serta satuan tugas tidak diberi wewenang dan kemampuan untuk melakukan mediasi sehingga kasus-kasus kekerasan tetap dilaporkan ke aparat penegak hukum. Demikian juga para orang tua tampaknya belum sepenuhnya memahami tugas dan fungsi TPPK dan satgas” kata Mukhlisin.
Ada usul pembentukan semacam dewan etik untuk para guru sehingga ketika terjadi dugaan kekerasan, tidak langsung masuk ranah pidana di kepolisian.
Namun, ada proses penilaian dari dewan etik, apakah guru yang bersangkutan melanggar atau sekadar pendisiplinan, misalnya.
Sayangnya, tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) serta satuan tugas tidak diberi wewenang dan kemampuan untuk melakukan mediasi.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti telah bertemu dengan Kepala Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, pekan lalu, untuk membahas langkah-langkah strategis menciptakan satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan RAMAH (Responsif, Akuntabel, Melayani, Adaptif, dan Harmonis) bagi siswa di seluruh Indonesia.
Pertemuan ini membahas beberapa program dan inisiatif yang akan menjadi fokus kerja sama antara kedua lembaga tersebut.
Salah satu poin penting yang disepakati adalah penerapan pendekatan ”restorative justice” dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di lembaga pendidikan.
”Kami sepakat dengan Bapak Kapolri bahwa berbagai persoalan di lembaga pendidikan sebaiknya diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan dan musyawarah. Hal ini sesuai dengan prinsip restorative justice,” ujar Mu’ti.
Mu’ti juga menyoroti perlunya revisi UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Kedua undang-undang ini dianggap perlu diperbarui untuk memberikan perlindungan lebih bagi guru, baik dari sisi profesi maupun keamanan.
”Kami sedang mempertimbangkan dua opsi, apakah perlu merevisi undang-undang yang sudah ada atau membuat undang-undang baru. Kami akan mengkaji hal ini lebih lanjut dengan masukan dari masyarakat,” jelas Mu’ti.
Listyo menyampaikan Polri mendukung sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa dan guru. ”Kami ingin memastikan bahwa sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga ruang yang aman bagi seluruh siswa,” katanya.
(Banjarmasinpost.co.id/TribunJatim.com)
| Bejatnya Pria Lecehkan Wanita yang Sedang Sujud Kala Sholat di Masjid, Terekam CCTV, Motif Disorot |
|
|---|
| Gegara Miras Oknum Polisi Aniaya Tukang Ojek hingga Tewas, Korban Disabilitas Dihajar di 3 Lokasi |
|
|---|
| Begal Salah Pilih Orang, Dihajar Korban Seorang Atlet Hingga Bonyok Berujung Penjara |
|
|---|
| Pria 28 Tahun Ditemukan Tak Bernyawa di Mesjid, Dikira Mati Kelaparan, Isi Suratnya Kuak Fakta Pilu |
|
|---|
| Robohkan Rumah, Pria 36 Tahun Sakit Hati Istri Selingkuh dengan Seorang Kakek, Pergoki Lewat CCTV |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.