Breaking News

Serambi Ummah

Suami Senang Hati Nafkahi Istri, Selalu Diberi Kelapangan dan Keberkahan Rezeki oleh Allah SWT

Di Indonesia populer istilah uang suami adalah uang istri. Tapi ternyata tidak begitu menurut kaidah Islam

|
banjarmasin post/rizali rahman
Ilustrasi istilah populer di masyarakat Indonesia: Uang suami ya uang istri juga. 

BANJARMASINPOST.CO.ID - Di masyarakat Indonesia, dikenal istilah uang suami adalah uang istri


Tapi uang istri belum tentu jadi uang suami. Bahkan kadang yang ekstrem, uang istri ya milik istri sendiri.


Lalu bagaimana idealnya bagi keluarga muslim?


Rena, satu warga Kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan (Kalsel), telah berumah tangga selama lima tahun. 


Dia mengelola uang yang diberikan suami tiap bulan setelah gajian. 


“Untuk kebutuhan suami sudah diketahui, intinya terbuka tidak ada yang ditutupi,” ujarnya kepada Serambi UmmaH, Kamis (20/11/2025).

Baca juga: Curi Uang Istri Siri Rp3 Juta, Pria di Samarinda Ini Mengaku Sakit Hati Gegara Diusir


Dan hal ini sudah mereka sepakati sejak sebelum menikah.


Rena memang tidak bekerja dan merupakan keinginan dari suami. 


Tapi saat mendapatkan rezeki dari keluarga atau hal lainnya, dia bercerita kepada suami.


Berbeda dengan Dedi yang memiliki istri bekerja.


Tiap bulan sang istri memiliki gaji tetap, sedangkan dia punya usaha jual beli, sehingga pendapatan tidak tetap jumlahnya.


Untuk mengatur keuangan awalnya memang cukup kesulitan. 


Namun setelah berunding, akhirnya dapat cara yang tepat untuk keduanya.


Beberapa kebutuhan pokok seperti pembayaran cicilan rumah, tagihan listrik, air dan internet ditangani Dedi. 


Sedangkan gaji istri untuk kebutuhan makan dan keperluan lainnya.


“Kami juga punya target tiap bulan bisa nabung ke rekening milik bersama,” ucap Dedi


“Saya beruntung punya  istri yang tidak terlalu permasalahkan keuangan,” ujarnya.


Dengan mengatur keuangan seperti itu, dia lebih leluasa dan bisa memberi hadiah kepada istri. 


Dia percaya dan sudah merasakan, bila pendapatan digunakan untuk senangkan istri, maka akan diberi kelancaran oleh Allah SWT dalam mencari rezeki.


Dedi berprinsip, rezeki yang dicari dan didapat adalah hasil dari doa istri


Dia juga selalu berdoa untuk mendapatkan kelapangan untuk hadapi segala kondisi ekonomi.


“Saat pendapatan banyak tidak boros dan menambah pengeluaran, sehingga saat ada kebutuhan mendesak ada tabungan yang bisa digunakan,” tuturnya.


Sebenarnya, Dedi ingin istrinya tidak bekerja dan hanya mengurus rumah tangga.


Tapi, karena saat ini belum memiliki momongan, maka dia izin istri bekerja yang disenanginya.


“Istri saya mengatakan, dia senang saat bekerja karena bertemu teman, daripada bosan di rumah,” tambah Dedi.


Bagi Dedi, peran suami sangat penting, meskipun istri memiliki penghasilan.


Namun sebagai kepala keluarga, dia tetap lakukan pengawasan dan beri arahan penggunaan uang.
 

Istri Tak Punya Hak


Ustadz Ahmad Humaidi, pengajar Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah di HSU mengatakan, suami bertanggung jawab penuh terhadap nafkah istri.


“Baik istri kaya maupun miskin, bekerja atau tidak bekerja, taat atau nusyuz sekali pun (selama masih jadi istri sah),” jelasnya.


Dalil utamanya tercantum dalam Al-Qur’an Surah  An-Nisa ayat 34 yang artinya,”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu, Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”


Nafkah yang wajib mencakup makan, pakaian dan tempat tinggal yang layak sesuai kemampuan suami (ma’ruf), 


Kebutuhan pribadi istri seperti perhiasan wajar, kosmetik, hiburan yang ma’ruf dan biaya kesehatan, pendidikan anak, pembantu rumah tangga bila memang diperlukan.
 
Tapi, ustadz Humaidi mengatakan, gaji suami tidak semuanya jadi hak istri. 


Harta dan gaji suami tetap milik suami 100 persen. 


“Istri tidak punya hak kepemilikan atas harta suami. Yang ada adalah hak untuk dinafkahi, bukan hak milik,” paparnya.


Dia mengutip fatwa para ulama Syafi’i Imam Nawawi, Imam Ramli dan lain-lainnya.


“Istri tidak memiliki hak atas harta suami sedikit pun, yang ada hanya kewajiban suami memberi nafkah yang cukup,” ujar ustadz Humaidi. (Banjarmasinpost/reni kurnia wati)

 

Bukan Hukum Islam


Menurut ustadz H Ahmad Humaidi Lc MPdI, Mudir atau Direktur Ma’had Aly Rakha Amuntai, istilah uang suami adalah milik istri juga, termasuk guyonan di masyarakat.


Anggapan itu salah secara syar’i dan tidak ada dasarnya.


Bahkan dalam madzhab Syafi’i, uang atau gaji suami tetap milik suami.


“Uang atau gaji istri jika bekerja tetap 100 persen milik istri, suami tidak boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan istri. Itu adalah candaan masyarakat, bukan hukum Islam,” ujar ustadz Humaidi.

Ustadz Ahmad Humaidi Amuntai
H Ahmad Humaidi, Direktur Ma’had Aly Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) Amuntai, HSU, Kalsel


Dia menjelaskan, menurut ulama, suami boleh dan bahkan disunnahkan mengambil alih pengelolaan keuangan rumah tangga dalam kondisi tertentu.


Misal, istri terbukti boros (tabdzir) atau membelanjakan nafkah untuk yang haram atau hal maksiat.


Atau juga pengeluaran istri melebihi batas kewajaran (ma’ruf) dan membahayakan keuangan keluarga, 


“Suami tetap wajib berikan nafkah yang cukup, tapi boleh mengatur cara penyerahannya,” jelas ustadz Humaidi.


Bentuk pengambil-alihan yang dibolehkan di antaranya suami memberikan nafkah secara harian atau mingguan (bukan sekaligus bulanan).


Atau suami yang langsung membayar tagihan listrik, sekolah anak, belanja bulanan dan lainnya.


Suami yang mengatur anggaran rumah tangga (budgeting), menyimpan sebagian gaji untuk tabungan/investasi keluarga (atas kesepakatan dengan istri).


Sedangkan yang tidak diperbolehkan adalah mengambil gaji atau harta pribadi istri tanpa izin.


Mengurangi nafkah wajib dengan alasan ‘istri boros’ dan menghina atau merendahkan istri karena boros (harus dengan cara yang ma’ruf).


Ustadz Humaidi menuturkan, Nabi Muhammad SAW berikan nafkah kepada istri-istri beliau secara cukup.


Bahkan, kepada Sayyidah Saudah yang sudah tua dan tidak banyak keinginan, tetap diberi jatah yang sama dengan yang lain.


Ketika Sayyidah Aisyah pernah meminta tambahan nafkah, Rasulullah menawarkan dua pilihan,


“Jika engkau mau aku doakan dicukupkan dengan yang ada, atau jika engkau mau aku beri tambahan maka harus bersabar menunggu giliran.”  


Hal itu menunjukkan pengaturan yang bijaksana.


Rasulullah SAW tidak pernah memberikan seluruh harta beliau kepada satu istri, tetap adil dan terencana.


Sedangkan dalil yang menyangkut pengelolaan keuagan dalam rumah tangga di antaranya
dalam Al-Quran Surah Ath-Thalaq ayat 7.


”Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya”.


Kemudian, hadis riwayat Abu Dawud & Hakim yang artinya,”Cukuplah seseorang itu berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang wajib ia nafkahi.”


Jadi, menurut ustadz Humaidi, suami wajib nafkahi istri 100 persen, tapi harta suami tetap milik suami, harta istri tetap milik istri. 


Jika istri boros, suami boleh (bahkan wajib) mengambil alih pengelolaan keuangan rumah tangga dengan cara yang bijaksana dan tetap memberikan nafkah yang cukup. 


“Semua harus dilakukan dengan akhlak mulia, musyawarah dan menjaga perasaan istri,” ujar ustadz Humaidi.  (Banjarmasinpost/reni kurnia wati)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved