Susu Grasi Dibalas Tuba Narkoba

DEMOKRASI yang makin matang membutuhkan logika dan fakta, tidak hanya retorika. Demokrasi bukan asal berbeda pendapat, bukan asal mengkritisi.

Editor: Dheny Irwan Saputra
zoom-inlihat foto Susu Grasi Dibalas Tuba Narkoba
dok
Denny Indrayana

Contoh demokrasi retorika tapi minim fakta itulah yang mengemuka dalam polemik pemberian grasi Presiden SBY kepada Meirika Franolla. Pemberian grasi yang dijamin konstitusi dibelokkan menjadi inkonsistensi pemberantasan narkoba. Untuk keputusan pemberian grasi narkoba yang tidak populer demikian, argumen bahwa Presiden SBY melakukan pencitraan, pastinya tidak digunakan, alias disimpan di dalam laci meja.

Tidak benar pendapat bahwa Presiden SBY adalah satu-satunya yang pernah memberikan grasi dalam kasus narkoba. Itu retorika kosong yang bertentangan dengan fakta. Adalah retorika pula mengatakan Presiden SBY mengobral grasi narkoba. Faktanya, dari 126 permohonan grasi narkoba kepada presiden, hanya delapan orang dewasa saja yang dikabulkan. Sebelas pemohon lainnya adalah 10 anak-anak dan satu tunanetra. Dimana logikanya, mengabulkan hanya 6% permohonan orang dewasa adalah mengobral grasi narkoba?

Ada lagi yang berargumen, harusnya seluruh permohonan grasi narkoba ditolak saja. Pendapat demikian kembali hanyalah retorika, dan justru bertentangan langsung dengan UUD 1945 yang dengan jelas mengatur, “Presiden memberi grasi”. Tidak mungkin presiden langsung menolak seluruh permohonan, meskipun pemberian grasi narkoba tentu juga harus sangat selektif. Kepada gembong permohonan grasi tentu sebaiknya ditolak. Namun kepada pelaku-korban, dengan sangat selektif, pemberian grasi tentu dapat dipertimbangkan.

Karena itu, ketika memberikan grasi narkoba, Presiden tidak langsung memutuskan sendiri. Selain memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden juga meminta masukan dari anggota kabinetnya, misalnya: Menkopolhukam, Menkumham, Kapolri dan Jaksa Agung. Dengan mekanisme yang sangat ketat demikian, kehati-hatian sudah dilakukan.

Presiden tidak hanya bersandar pada pertimbangan MA semata. Karena, pertimbangan-dalam kaca mata hukum apapun pasti tidak mengikat. Pertimbangan adalah saran, pendapat, masukan-bukan perintah yang harus dilaksanakan. Keputusan akhir tetap ada di tangan presiden.

Lagi pula, dalam kasus Olla, ada inkonsistensi dari kelompok yang berargumen Presiden harus mengikuti pertimbangan MA. Kelompok yang sama tidaklah setuju ketika Presiden memberikan grasi kepada Schapelle Corby. Padahal ketika itu pemberian grasi Presiden sejalan dengan pertimbangan MA yang menyarankan pengurangan hukuman 5 tahun.

Presiden SBY justru konsisten. Grasi diberikan sangat selektif hanya kepada korban kejahatan. Jangan lupa, bahkan dalam kategori pelaku kejahatan sekali pun tetap ada pelaku-korban. Contoh, banyak TKW kita yang merupakan pelaku kejahatan pembunuhan, namun sebenarnya adalah pelaku-korban. Mereka terpaksa membunuh karena menjadi korban perkosaan.

Dalam kasus narkoba, tidak sedikit modus wanita Indonesia yang didekati, dipacari, atau bahkan dinikahi, untuk kemudian diminta menjadi kurir narkoba. Logika sederhananya, kurir bukanlah gembong narkoba. Kurir adalah mata rantai mafia narkoba yang paling rentan, paling kroco. Kurir adalah pelaku yang paling beresiko ditangkap. Gembong profesional tidak akan pernah mau menjadi kurir.

Itu sebabnya, kita berusaha keras membela 298 warga negara kita yang diancam hukuman mati di luar negeri. Jangan lupa, faktanya, 62 persen, atau mayoritas dari mereka terkait kasus narkoba. Ada kelompok yang mengatakan lupakan saja, biarkan mereka dihukum mati. Kelompok demikian itu lupa, ikhtiar pembelaan harus tetap dilakukan, karena tidak sedikit dari WNI tersebut yang terjerat kasus karena terpaksa, atau dijebak menjadi pelaku-korban pula.

Data terakhir, sudah 101 orang yang berhasil diselamatkan dari ancaman hukuman mati. Mayoritas, 42 orang, terkait kasus narkoba. Walaupun, tidak ada apresiasi atas 101 cerita sukses penyelamatan tersebut. Jauh berbeda dengan tragedi wafatnya Ruyati di Arab Saudi, yang ramai diekspose sebagai kegagalan total perlindungan WNI di luar negeri. Biasanya, retorikanya adalah, menyelamatkan 101 WNI tersebut sudahlah merupakan kewajiban pemerintah.

Kenapa banyak WNI kasus narkoba yang berhasil diselamatkan dari ancaman hukuman mati? Salah satunya karena Presiden SBY sendiri mengirimkan surat memohonkan pengampunan. Kelompok kritis memang bersuara lantang agar Presiden SBY turun langsung menyelamatkan nyawa WNI kita di luar negeri.

Tetapi, alangkah tidak fair dan inkonsistennya, ketika kita mendesak Presiden SBY meminta pengampunan untuk WNI kita yang ada di luar negeri, sedangkan di dalam negeri, kita melarang sama sekali Presiden memberikan pengampunan. Bukankah, untuk boleh meminta, kita wajar pula untuk boleh memberi. Tentu jika terkait kasus narkoba, permintaan dan pemberian harus selektif untuk pelaku-korban yang memang patut diselamatkan dari eksekusi hukuman mati.

Terkait hukuman mati, kita semua harus paham, persoalannya tidaklah sederhana. Vonis hukuman mati harus betul-betul selektif dan hati-hati dijatuhkan. Kecenderungan dunia jelas-jelas menunjukkan, dari 198 negara yang ada, 154 di antaranya, atau nyaris 80% cenderung menolak hukuman mati.

Dalam kasus grasi Olla -dan Deni- Presiden mengabulkan grasi dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Yang bersangkutan tetap akan menjalani hukuman, tanpa ada kesempatan bebas atau pengurangan hukuman, hingga matipun tetap di penjara. Bagi kelompok antihukuman mati, pemberian grasi oleh Presiden SBY tersebut sudah benar. Namun suara para pejuang HAM tersebut tentu hanya akan terdengar sayup-sayup, karena tentu lebih seksi pemberitaan mengkritisi kebijakan Presiden ketimbang mengapresiasinya.

Dalam kasus Olla, grasi sudah diberikan melalui proses yang panjang. Presiden mendapatkan masukan bahwa yang bersangkutan adalah kurir. Bahwasanya setelah grasi diberikan, bukan sebelum grasi diberikan, Olla diduga mengedarkan narkoba dari lapas, maka tentu hal itu perlu dibuktikan dulu melalui proses hukum baru yang berbeda. Jika terbukti, seharusnya sanksi hukumnya harus lebih berat dari hukuman yang kini dijalaninya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kita dan Affan

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved