Jendela Dunia
Waduh! Es di Kutub Mencair, NASA: Empat Kota di Indonesia Terancam Terendam
Dengan peralatan itu bisa terlihat bagaimana perkiraan air yang mencair dari es itu terdistribusi secara global.
BANJARMASINPOST.CO.ID, LOS ANGELES - Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat atau NASA telah meluncurkan perangkat internet yang bisa memperkirakan kota-kota dunia yang terkena dampak mencairnya lapisan es.
Dengan peralatan itu bisa terlihat bagaimana perkiraan air yang mencair dari es itu terdistribusi secara global.
"Peralatan itu memberikan—untuk setiap kota—gambaran tentang gunung es, lapisan es, ataupun puncak es yang mana yang amat penting," tutur para peneliti.
Jadi, jangan menganggap karena Indonesia jauh dari kawasan gunung es, maka tidak akan terkena dampak dari mencairnya lapisan es di Kutub Utara atau Kutub Selatan.
Baca: Ini Jawaban Tegas Anies Baswedan Ketika Ditanya Landasan Hukum Kegiatan Keagamaan di Monas
Baca: Anies Baswedan Tegas Urusi Monas, Sandiaga Bicara Tentang Penataan Delman Seperti New York
Baca: Viral, Ini Namanya Dokter Hebat, Lihat Bacaan Plangnya, Buat Banyak Orang Terkagum-Kagum
Baca: Ternyata Ulama Banjar Pernah jadi Imam Masjid di Pulau Penyengat Tanjung Pinang
Baca: Ibu Guru Cantik Ini Siap-siap Terkam Muridnya, Eh Keburu Ketahuan Lalu Ini yang Terjadi
Pasalnya, menurut para ilmuwan, perputaran Bumi dan efek gravitasi akan membuat air dari gunung dan lapisan es menyebar ke seluruh dunia.
Jakarta, misalnya, berdasarkan perkiraan para ilmuwan, akan terkena dampak peningkatan permukaan laut setinggi 1.713 milimeter.
Selain Jakarta, empat kota dan satu kawasan lain yang masuk dalam peralatan internet yang dikembangkan Laboratorium Propulsi Jet NASA di California itu adalah:
Banda Aceh: peningkatan permukaan air laut 1,713 mm
Jawa Timur: 1.766 mm
Makassar: 1.764 mm
Manado: 1.780 mm
Jayapura : 1.747 mm
Laporan tentang predikisi peningkatan permukaan laut tersebut sudah diterbitkan di Science Advances.
"Sejalan dengan kota-kota dan negara-negara yang berupaya membangun rencana untuk mengurangi banjir, mereka harus berpikir 100 tahun ke depan jika ingin mengkaji risikonya dengan cara yang sama dilakukan perusahaan asuransi," kata Dr Erik Ivins.
