Save Satinah
DELAPAN hari lagi, Satinah binti Jumadi Ahmad, tenaga kerja Indonesia asal Desa Kalisidi, Ungaran Barat
DELAPAN hari lagi, Satinah binti Jumadi Ahmad, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Desa Kalisidi, Ungaran Barat, Jawa Tengah, akan menghadapi hukuman mati dengan cara dipancung di Arab Saudi. Vonis itu diputuskan, setelah Satinah mengaku bersalah membunuh majikannya, Nura Al Gharib, di pengadilan Arab Saudi pada 2010 dan dijatuhi hukuman pancung.
Namun, berdasarkan hukum di Arab, eksekusi bisa dihindari jika pelaku membayar kompensasi yang disebut diyat kepada keluarga korban. Awalnya, diyat yang dituntut oleh keluarga ahli waris Al Gharib semula sebesar 15 juta riyal, kemudian turun menjadi 7 juta riyal atau sekitar Rp 21 miliar. Versi Pemerintah Indonesia, besarnya diyat 7,5 juta riyal, setara Rp 25 miliar.
Jika pihak keluarga gagal menghimpun dana sebesar itu, maka Satinah bakal menghadapi algojo pada 3 April mendatang. Tentu saja, keluarga Satinah yang miskin di Ungaran, Jateng, tak bakal mampu memenuhi tuntutan tersebut.
Pemerintah Indonesia sendiri menilai, besarnya diyat tersebut sangat berlebihan. Pemerintah hanya sanggup menyiapkan uang diyat 4 juta riyal. Pemerintah Republik Indonesia bisa dibilang lambat menyelamatkan Satinah dari hukuman berat tersebut. Sebab, pemerintah baru mulai bekerja keras ketika Satinah sudah dieksekusi akan mati pada 2011.
Sebelum Satinah diputuskan akan menerima eksekusi, sikap pemerintah biasa-biasa saja. Ibarat pemadam kebakaran, pemerintah baru bekerja setelah api muncul. Padahal, kasusnya sudah dari 2007 dan surat pemberitahuan vonis eksekusi mati tersebut sudah dari 2009 dikirimkan. Nyawa Satinah juga tertolong oleh tenggat waktu eksekusi itu yang sudah diperpanjang hingga tiga kali, yaitu Desember 2011, Desember 2012, dan Juni 2013.
Mengutip Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayat, dari awal pemerintah memang tidak secara serius memberikan perlindungan terhadap buruh migran yang ada di luar negeri, termasuk Satinah. Saat ini perlindungan pemerintah terhadap buruh migran terlalu lemah. Bahkan, kesadaran hukum para buruh migran di negara tujuan tidak banyak diketahui oleh buruh migran kita. Karena itu, berulang kali para pahlawan devisa itu harus terjebak dalam kondisi tidak manusiawi, bahkan hingga meregang nyawa. Seperti hukuman pancung terhadap Ruyati tahun 2011 yang diklaim pemerintah tanpa pemberitahuan dari pemerintah Arab Saudi.
Sikap pemerintah yang anteng membuat banyak masyarakat memilih urunan secara independen. Migrant Care memulai gerakan ini sejak sekitar sebulan lalu, bersama beberapa tokoh seperti anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka dan Pramono Anung.
Buruh migrant Indonesia yang berada di di Hongkong, Singapura dan Arab pun turut mendukung gerakan ini. Artis Melanie Subono juga bergabung dan aktif mengajak melalui akun twitternya @melaniesubono. Gerakan ini untuk mendorong pemerintah agar lebih membuka hati dan telinganya untuk dapat menyelamatkan nyawa warga negaranya.
Untuk itu, kita mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pengujung pemerintahannya untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan hanya melakukan lawatan ke berbagai daerah, termasuk kesibukan berkampanye.
Misalnya melalui diplomasi dengan cara berbicara langsung dengan Raja Arab Saudi untuk mengintervensi kasus hukum yang menimpa TKI, Satinah, yang kini terancam hukuman mati.
Seperti pernah dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid, yang berhasil membebaskan Siti Zainab setelah berbicara dengan Raja Arab Saudi. Atau sikap Presiden Filipina, saat itu Fidel Ramos, yang sigap membebaskan buruh migrannya yang terancam hukuman mati di Uni Emirat Arab, setelah menelepon Raja UEA.
Karena itu, sudah sewajarnya pula Presiden SBY ikut langsung memperjuangkan warga negaranya yang nyawanya terancam di negeri orang, khususnya Satinah. Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri RI harus proaktif melakukan lobi kepada Kerajaan Saudi Arabia untuk memperjuangkan kebebasan Satinah Binti Djumadi, misalnya dengan menurunkan diyat hingga separonya. (*)