G a i b

KORUPSI paling enak dan nyaman itu ya korupsi untuk urusan haji. Tidak ada satu pun anggota jemaah calon haji yang memilih batal berangkat

Editor: M Fadli Setia Rahman

KORUPSI paling enak dan nyaman itu ya korupsi untuk urusan haji. Tidak ada satu pun anggota jemaah calon haji yang memilih batal berangkat demi mempertahankan haknya yang dipotong oleh petugas penyelenggara haji.

Yang ada cuma ucapan alhamdulillah, bisa berangkat sudah bersyukur, ngapain ngurus-ngurus duit setoran yang sudah di tangan penyelenggara.

Dari tahun ke tahun seperti itu, uang setoran haji makin tinggi tapi pelayanan tidak makin baik. Setoran haji saat ini berkisar Rp 20 juta sampai Rp 25 juta, baru bisa dapat nomor porsi, atau nomor urut untuk jamaah yang sudah fix bakal berangkat.

Karena begitu besarnya minat pergi haji, uang setoran makin membengkak, antrean pun makin panjang, sampai 15 tahun bahkan lebih. Saat ini uang setoran haji sudah menumpuk sekitar Rp 75 triliun yang dimasukkan ke rekening atas nama Menteri Agama.

Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu dijadikan Dirjen Urusan Haji-Umrah juga untuk mengurus duit.

Lantas ke mana saja bunga dari uang setoran itu? Yang pasti jemaah haji menerima pelayanan kurang memuaskan. Tempat pemondokan ada yang sampai lebih 2 kilometer dari Masjidil Haram, malah pernah ada yang sampai enam kilometer. Tempat pemondokan rata-rata bangunannya bertingkat dan lift tidak selalu siap pakai.

Teorinya juga disediakan bus tapi nyatanya tak ada bus yang siap untuk membawa jemaah, kalau ada bus, sopirnya tidak ada. Sopir-sopir di Makkah juga makan suap, tanpa diberi uang mereka tidak mau jalan. Ini biasanya menjadi tanggung jawab jemaah sendiri yang dikoordinasi ketua rombongan.

Misalnya perjalanan dari Jeddah-Madinah atau Madinah-Makkah dan sebaliknya. Semua ada uang ekstra. Dari pemondokan ke Masjidil Haram gratis makanya sopir ogah-ogahan.

Kendaraan-kendaraan semacam angkot untuk ke Masjidil Haram rata-rata mengenakan tarif tinggi, sampai lima real sekali jalan. Sulit bagi yang sangunya paspasan untuk bisa ke Masjidil Haram lima kali sehari, kecuali bagi yang berebadan sehat dan tegap dengan berjalan kaki.

Orangtua dan perempuan banyak yang memilih salat di pemondokan. Di sini setiap RT ada masjid, di Makkah tidak, sehingga masjid di ‘kampung’ selalu dijejali jemaah.

Soal wukuf, berdesak-desakan itu biasa tapi kalau sampai tidak bisa merebahkan badan untuk istirahat itu kelewatan. Lebih kelewatan lagi waktu lempar jumrah di Mina. Rombongan dari Indonesia banyak yang tidak mendapat tempat dalam tenda karena penuh.

Penulis pernah tiga hari tiga malam tidak bisa tidur karena orang sudah seperti pindang, duduk hanya beradu punggung. Memang ada yang bisa telentang tapi itu pun sudah empet-empetan. Begitu pula kamar mandi dan toilet yang terasa amat kurang.

***

Fasilitas untuk lansia juga tidak ada, yang tidak kuat jalan harus menyewa kursi roda dengan tarif mahal. Tidak sedikit jemaah lansia yang dari tanah air sudah membawa kursi roda sendiri dengan dibantu  jemaah lain untuk mendorong. Ada juga yang sengaja memanfaatkan dengan tarif khusus mulai dari tanah air.

Katering, yang penting bisa makan. Yang tidak selera bisa cari makan di luar tenda. Pernah terjadi jamaah kelaparan karena ransum tidak diberikan.

Jemaah Indonesia termasuk jemaah haji tamattu, yaitu mendahulukan umrah daripada haji. Jadi dari miqat mengenakan ihram dengan niat umrah di musim haji. Lantas menjelang wukuf memakai ihram lagi dengan niat haji.

Haji tamattu dikenai kewajiban membayar dam yang dikoordinir oleh ketua rombongan. Tapi praktiknya juga tidak semua tahu ke mana larinya uang dam itu. Kalau setiap jemaah 250 real berapa jumlah yang dam yang terkumpul?

Pungutan ini  potensial dikorupsi, kenapa tidak dijadikan satu saja dengan biaya perjalanan haji, bahkan kalau perlu dicover lewat bunga uang setoran.

Itulah gambaran sepintas nasib jemaah haji Indonesia. Namun mereka tidak mengeluh apalagi keberatan, sebab prinsipnya bisa berangkat saja sudah untung.

Pengeluaran ekstra untuk transpor (para supir dan kuli) mulai dari Jeddah sampai kembali ke tanah air tidak dipikirkan lagi. Mereka tidak merasa bahwa ada pihak-pihak yang mengambil untung dari kesulitan jemaah.

Jemaah juga tidak berpikir yang diberikan oleh penyelenggara sudah di-mark up. Jadi duit haji itu gampang sekali dimainkan. Sepertinya semua serbagaib di tangan ‘malaikat’ Kementerian Agama.

Kalau sekarang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar praktik korupsi penyelenggaraan haji sebenarnya terlambat karena praktik seperti itu sudah ada sejak dulu. Tapi kita tetap harus mengapresiasi karena kalau ini dibiarkan akan menjadi kanker yang terus menggerogoti penyelenggaraan haji. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Pahlawan Prisma

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved