Jendela

Pahlawan Prisma

Prisma edisi Agustus 1977 iterjual 25 ribu eksemplar dalam waktu singkat. Edisi itu berjudul “Manusia dalam Kemelut Sejarah”

Editor: Hari Widodo
Foto Ist
Mujiburrahman, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin 

Mujiburrahman, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID- Di era serba elektronik dan distraksi media sosial saat ini, sulit kiranya kita membayangkan, satu edisi jurnal akademik yang serius versi cetak, habis terjual dalam waktu singkat, kemudian dicetak ulang dan dijual lagi hingga habis sebanyak 25 ribu eksemplar! Namun, dahulu ini pernah terjadi dengan jurnal Prisma No.8 (Agustus, 1977) yang diterbitkan oleh LP3ES, Jakarta. Tidak hanya itu. Edisi tersebut dicetak lagi menjadi buku pada 1978, dan dicetak ulang lagi pada 1979. Masyarakat antusias menyambut buku ini dan berbagai media massa memuat ulasan-ulasan simpatik.

Apa topik yang diangkat Prisma edisi Agustus 1977 itu? Apakah hasil-hasil riset terbaru yang sangat penting diketahui publik atau analisis terhadap wacana akademik yang tengah ramai dibicarakan? Tidak. Sama sekali tidak! Edisi itu berjudul “Manusia dalam Kemelut Sejarah”.  Artikel-artikel edisi itu memaparkan sejarah hidup dan pemikiran tokoh-tokoh masa lalu yaitu Soekarno, Soedirman, Sjahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Kahar Muzakkar, Amir Sjarifuddin, dan Rahmah El-Yunusiyah. Mengapa sejarah tokoh-tokoh ini menjadi “seksi” dan menarik bagi publik terpelajar Indonesia kala itu?

Daniel Dhakidae, salah seorang aktivis LP3ES, dalam karyanya, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003 : 472-9), menjelaskan perkara ini dengan panjang lebar. Menurutnya, saat itu muncul kegelisahan di kalangan cendekiawan, bagaimana selanjutnya politik Indonesia? Apakah setelah Pemilu 1977 Soeharto akan kembali menjadi presiden? Padahal, kaum cendekiawan melihat, negara semakin menguasai hampir segala bidang kehidupan, sementara pembangunan yang dijalankan “menjadi madu bagi sebagian orang, tetapi empedu nan getir bagi orang lain”.

“Hampir seluruh ide untuk Prisma edisi ini diambil dari buku Hannah Arendt, Men in Dark Times (1973)” tulis Daniel. Selain judul buku yang menginspirasi judul Prisma edisi tersebut, ide yang darinya diambil adalah bagaimana menghidupkan politik orang hidup dengan “membangunkan” orang-orang yang sudah mati. Bagi Arendt, “dalam kegelapan yang paling gulita pun, kita memiliki hak untuk mengharapkan seberkas cahaya, dan seberkas cahaya semacam itu memang akan lebih banyak datang bukan dari teori-teori dan konsep-konsep, tetapi dari sinar yang tidak pasti, berkelap-kelip lemah-lembut” dalam kisah hidup lelaki dan perempuan.

“Prisma menerima jalan pikiran itu dan mengolahnya,” tulis Daniel. “Di tengah kebungkaman akhir dasawarsa 1970-an akibat kekerasan yang dijalankan pada tahun 1965 dan 1974, agaknya kesunyian hanya bisa dipecahkan oleh gelegar suara orang mati qui morte vicerunt, yang berjaya dalam kematiannya, bukan secara fisikal, tetapi dalam ide dan idealisme yang ditinggalkannya, ketika mereka diberi kesempatan untuk ‘angkat bicara’ karena yang hidup hanya bernapas tanpa daya, dan hanya mengharapkan bahwa yang mati akan bertenaga lagi, dalam kematiannya, hidup dalam diri generasi yang kini seperti orang mati,” urainya.

Daniel menyoroti dua artikel edisi Prisma itu. Pertama, tentang Sutan Sjahrir oleh Mangunwijaya. Di situ ia menulis bahwa Sjahrir sangat khawatir dengan fasisme Jepang yang memengaruhi para pemuda. “Seumumnya pemuda-pemuda kita hanya memiliki keterampilan untuk menjadi prajurit, artinya berbaris dan mematuhi perintah untuk menyerang…tidak pernah belajar bagaimana untuk memimpin.” Karena itu, “propaganda dan agitasi kepada massa rakyat mereka lakukan dengan cara yang mereka lihat dan pelajari dari orang-orang Jepang.” Bagi Daniel, ini adalah sindiran tajam karena yang dimaksud Mangunwijaya dengan ‘para pemuda kita’ itu adalah para penguasa Orde Baru.

Artikel kedua yang disoroti Daniel adalah karya Alfian tentang Tan Malaka, seorang tokoh yang “haram” dibahas kala itu, tetapi Prisma berani menghadirkannya. Alfian antara lain menekankan pandangan Tan Malaka tentang peran penting kaum intelektual. Bagi Tan Malaka, intelektual itu harus aktif, yakni kreatif, menghargai kebebasan berpikir dan tidak bermental budak. Jika dia masih pasif-membudak, maka dia tidak akan merdeka 100 persen. Bagi Daniel, ungkapan Alfian tentang merdeka seratus persen pada 1977 adalah sebuah cibiran karena Indonesia saat itu justru semakin mantap “bergerak menuju penindasan dan neo-fasisme Orde Baru.”

Akhirnya, Daniel menilai bahwa Prisma edisi itu adalah laksana cermin. Ia adalah “cermin buruk” bagi pemerintah Orde Baru sebagai ungkapan kritik terhadap apa yang telah dan tengah terjadi, tetapi juga menjadi “cermin ajaib” bagi masyarakat, yang dalam keadaan tertekan, kegelisahan mereka “hanya melalui mulut orang mati bisa ‘dibuka kepada publik’.” Dengan ungkapan lain, para penulis Prisma itu, sadar atau tidak sadar, telah berhasil membuat “orang mati menjadi pemain politik sesungguhnya, terutama karena kematian politik orang hidup.”

Kini kita sudah sangat jauh dari tahun 1977. Apakah kita masih perlu “membangkitkan orang mati” karena yang hidup sudah sulit diharap? Mungkin saja. Sebagai bangsa, kita perlu disegarkan dan diingatkan kembali pada perjuangan dan cita-cita mulia tokoh-tokoh bangsa. Kita perlu para pahlawan sebagai sumber inspirasi dan teladan. Seperti kata Daniel, “Untuk melihat semakin jauh ke depan, seorang harus melihat makin jauh ke belakang. Dengan bercermin kepada mereka yang sudah mati, Indonesia ingin menafsirkan apa yang sedang terjadi dan merumuskan masa depannya”.

Lantas, siapakah orang-orang yang dipilih pemerintah tahun ini menjadi para pahlawan? Apakah rakyat akan sibuk membaca dan mencari informasi tentang tokoh-tokoh itu sebagai “cermin” seperti yang berlaku pada Prisma di masa lalu? Entahlah! (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved