Jendela

Melawan Godaan Medsos

Media sosial diciptakan antara lain untuk melayani kebutuhan psikologis manusia seperti ingin diperhatikan, diakui, dan dipuji

|
Editor: Ratino Taufik
ISTIMEWA
Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Mujiburrahman. 

Mujiburrahman, Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID - KOMPAS, 20 November 2025, menurunkan dua berita penting: pertama, “Pemerintah Wajibkan Murid Membaca Buku”, dan kedua, “Media Sosial Mengambil Alih Waktu Remaja untuk Membaca”. Kini hampir semua kita memiliki ponsel, dan melalui ponsel itu kita bisa mempunyai akun media sosial, termasuk anak-anak kita yang masih belia. Godaan media sosial jauh melebihi radio dan televisi sehingga perangkapnya sungguh sulit dihindari.

Mengapa media sosial membuat kita, termasuk anak-anak kita, malas membaca buku? Media sosial memiliki daya pikat yang kuat, yang lebih kuat dari daya pikat buku. Media sosial diciptakan antara lain untuk melayani kebutuhan psikologis manusia seperti ingin diperhatikan, diakui, dan dipuji. Media sosial juga membantu orang untuk membangun hubungan antarmanusia tanpa harus bertemu langsung. Bukankah berat hidup sendirian tanpa teman? Jika kesibukan hidup modern membuat orang tak punya banyak waktu untuk bergaul, media sosial adalah jalan keluarnya.

Namun, tak ada yang gratis dengan teknologi. Menciptakan teknologi tentu perlu biaya. Berbagai perusahaan media sosial juga didirikan untuk mencari uang. Karena itu, mereka mengembangkan rupa-rupa cara agar kita kecanduan menggunakan media sosial. Semakin sering kita membuka akun kita, semakin banyak pulsa yang kita bayar. Semakin viral satu informasi, semakin banyak uang yang didapatkan, dan semakin besar pengaruhnya ke publik. Singkat kalimat, di media sosial, perhatian warganet tidak saja penting secara psikologis, tetapi juga ekonomis dan politis.

Sejak ponsel pintar mulai merajai teknologi komunikasi di abad ke-21 ini, kita mengenal aneka istilah baru, yang menggambarkan akibat-akibat negatif media sosial. Ada yang disebut “pascakebenaran” (post-truth), yakni sesuatu dianggap benar semata karena sesuai dengan selera kita. Ada lagi “kematian kepakaran” (death of expertise) karena orang lebih suka bertanya pada mesin ketimbang pakar. Yang lain adalah “pengerutan otak” (brain rot) gara-gara kita terus-menerus menyerap informasi pendek yang menyenangkan sehingga otak kita jadi tumpul dan malas berpikir.

Semua akibat negatif itu berasal dari tsunami informasi yang menerjang perasaan, pikiran, dan sikap kita, melalui ponsel di tangan kita. Kita tergoda untuk membuka ponsel karena notifikasi yang muncul bertubi-tubi dan rasa penasaran yang membuncah. Inilah yang disebut “distraksi”, yakni gangguan terhadap perhatian kita. Orang menjadi sulit untuk fokus dan konsentrasi pada satu hal. Sebaliknya, orang makin terbiasa mengerjakan banyak hal secara bersamaan (multitasking) sehingga hasil kerjanya tidak maksimal. Semua jadi serba tanggung, dangkal, dan miskin makna.

Semua akibat buruk tersebut dapat menimpa siapa saja. Namun, yang lebih mengkhawatirkan tentu jika menimpa anak-anak dan remaja yang belum dewasa. Di Australia telah dilaksanakan penelitian dari tahun 2019 sampai 2022 terhadap 14.000 anak usia 11-14 tahun. Hasilnya, pada masa pandemi Covid-19, mereka memang lebih banyak menggunakan media sosial dari masa sebelumnya. Namun, setelah pandemi, justru lebih meningkat lagi hingga 200 persen! Sebaliknya, aktivitas menonton televisi dan gim daring setelah pandemi malah menurun, kembali serupa dengan sebelum pandemi.

Seperti dilaporkan KOMPAS, akibat buruk media sosial itu semakin tampak pada anak-anak dan remaja. Mereka malas berolahraga, malas membaca, dan malas berkesenian. Mereka menjadi kurang kreatif. Lebih buruk lagi, mereka kurang bergaul, ngumpul-ngumpul dengan teman-teman sebaya, dan kurang mampu berempati pada orang lain. Sungguh ironis bahwa teknologi yang disebut “media sosial” justru menjadikan orang “a-sosial”, tidak punya kepekaan sosial. Demikianlah, semua sisi kemanusiaan kita terganggu: tubuh, pikiran, perasaan, dan hubungan sosial.

Sebagai tindak lanjut atas kenyataan pahit di atas, pemerintah Australia memutuskan bahwa anak berusia di bawah 16 tahun dilarang memiliki akun media sosial (Facebook, X, Instagram, Snapchat, Tiktok dan YouTube). Semua perusahaan itu akan kena denda jika melanggar ketentuan ini. Australia dapat menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lain untuk mencegah pengaruh negatif media sosial terhadap anak-anak dan remaja. Menurut KOMPAS, pemerintah Denmark juga akan menerapkan kebijakan serupa, dengan melarang anak di bawah 15 tahun memiliki akun media sosial.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita belum mendengar adanya kebijakan serupa. Di negeri kita ini, penggunaan nomor ponsel saja tidak dibatasi jumlahnya, apalagi media sosial. Belum lagi akun-akun para buzzer yang entah berapa. Namun, Mendikdasmen, Abdul Mu’ti, sudah angkat bicara. Dia menyesalkan bahwa, menurut UNESCO, orang yang rajin membaca di Indonesia hanya 1 dari 1000 orang! Karena itu, beliau meminta agar guru mewajibkan siswa untuk meresensi buku. Beliau juga menuntut agar 10 persen dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dipakai untuk beli buku.

Saya kira, selain membaca, menghafal dan mengarang juga sangat baik untuk latihan konsentrasi dan berpikir. Orang tak mungkin bisa menjadi pengarang tanpa menjadi pembaca yang baik terlebih dahulu. Tak mungkin pula orang bisa mengarang tanpa konsentrasi. Mengarang atau menulis adalah aktivitas menuangkan pikiran secara sistematis dalam bentuk tulisan. Begitu pula, meskipun teknologi bisa membantu kita menyimpan data yang amat besar, menghafal adalah cara yang jitu untuk melatih konsentrasi. Mustahil kita bisa menghafal tanpa konsentrasi.

Alhasil, teknologi adalah alat bantu, bukan guru. Teknologi kadang memang mempesona, tetapi kita tak boleh lupa, semua teknologi itu takkan pernah ada tanpa proses berpikir: membaca, menghafal, dan menulis. Tanpa berpikir, manusia tak lagi menjadi manusia. Begitu pula, tanpa seni dan empati, manusia tak berbeda dengan mesin yang tak berperasaan. (*)

 

Alhasil, teknologi adalah alat bantu, bukan guru. Teknologi kadang memang mempesona, tetapi kita tak boleh lupa, semua teknologi itu takkan pernah ada tanpa proses berpikir: membaca, menghafal, dan menulis. Tanpa berpikir, manusia tak lagi menjadi manusia. Begitu pula, tanpa seni dan empati, manusia tak berbeda dengan mesin yang tak berperasaan.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Hari-hari Terakhir

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved