Jendela
Tuan Guru Tabrani Basri
Tuan Guru Haji Drs. Tabrani Basri telah wafat. Ada rasa kehilangan yang berat di hati penulis dan warga Kalsel terhadap Guru Tabrani
Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
BANJARMASINPOST.CO.ID- TEPAT 1 Oktober 2025 kemarin, usai salat Subuh, saya baru mengetahui kabar melalui pesan di WhatsApp bahwa Tuan Guru Haji Drs. Tabrani Basri telah wafat. Ada rasa kehilangan yang berat di hati saya. Beliau bukan hanya dekat dengan keluarga kami, tetapi juga dan terutama adalah sosok ulama zahid (asketis) yang kini makin sulit dicari padanannya.
Saya samar-samar mendengar namanya dari cerita orangtua. Saat itu saya baru kelas 1 Sekolah Dasar, tepatnya pada 1978, ketika pesawat yang mengangkut jemaah haji pulang ke Indonesia mengalami kecelakaan di Colombo, menewaskan 175 orang dari 264 penumpang.
Tabrani Basri dan sang istri, Rasidah, termasuk yang selamat. Peristiwa ini tentu sangat mempengaruhi hidup mereka. Apapun penjelasan ilmiah yang mungkin diberikan oleh seorang ahli, bagi kaum beriman, selamat dalam satu kecelakaan pesawat bukanlah kebetulan, melainkan bukti nyata kasih dan kuasa Tuhan.
Dalam satu wawancara dengan Banjarmasin Post, suami-istri ini ternyata sudah mendapatkan isyarat melalui mimpi. Saat di Madinah, sang istri bermimpi pulang dari haji tanpa membawa apa-apa, hanya memakai baju ihram. Sedangkan sang suami, saat tertidur di pesawat, bermimpi melihat banyak mayat bergelimpangan di Masjid Madinah.
Ada tubuh yang utuh dan ada yang terpotong-potong. Sesudah terbangun, dia mengajak istrinya salat. Tak lama kemudian terjadi ledakan. Pesawat terpenggal dan jatuh. Suami istri itu berjuang keluar dari pesawat, dan selamat.
Guru Tabrani tentu telah mempelajari apa arti takdir. Namun, pengalaman nyata di Colombo itu tentu lebih terasa maknanya. Alangkah jauh perbedaan antara orang yang mendengar kabar tentang manisnya madu, dengan yang pernah mencicipinya.
Iman yang kuat biasanya tidak lahir dari nalar intelektual saja, tetapi dari pengalaman hidup. Bahwa hidup di dunia ini pasti akan berakhir. Bahwa menjalani hidup dan mengisinya dengan perbuatan baik (amal saleh) adalah keniscayaan. Bahwa fasilitas dunia seperti harta, jabatan dan ketenaran, hanyalah alat untuk berbuat baik, bukan tujuan.
Mungkin karena itu, Guru Tabrani menjadi asketis dan rendah hati. Saya tak pernah melihatnya memakai serban yang melilit di kepala atau memakai jubah layaknya ulama besar. Dia tampil biasa saja, dengan sarung, baju koko dan kopiah haji.
Selama satu dasawarsa lebih, saya sering berjumpa dengannya, ikut Salat Jumat di Masjid Hudaibiyah. Pakaiannya yang sederhana membuatnya sama-serupa dengan jemaah lainnya sehingga nyaris tak dikenali. Ia juga suka naik sepeda motor, bukan mobil. Rumahnya juga sangat sederhana, berupa kayu biasa dan terletak di sebuah gang kecil.
Keteguhan hatinya melahirkan keberanian. Pada awal 1990-an, saya bersama para aktivis PMII pernah diundang mengikuti pertemuan dengan Gubernur Kalsel dan Ketua Umum PP GP Ansor, Slamet Effendy Yusuf. Saat itu, Orde Baru dan Golkar sedang berjaya.
Dalam sambutannya, Slamet menjelaskan bahwa dirinya adalah kader Golkar. Sebaliknya, saat Guru Tabrani giliran sambutan sebagai Sekretaris Umum PWNU Kalsel, dia menegaskan bahwa sesuai amanat “kembali ke Khittah 1926”, NU tidak berafiliasi dengan partai apapun. Di masa itu, ini adalah sikap tegas yang langka.
Saat terjadi perseteruan politik antara kubu Abu Hasan dan Gus Dur di Muktamar Cipasung, 1994, PWNU Kalsel yang dipimpin oleh Prof. Zurkani Jahja, bergabung dengan kubu Abu Hasan, yang kala itu didukung pemerintah dan mendapat restu Idham Chalid. Namun, Gus Dur akhirnya berhasil menang.
Kepengurusan NU sempat terbelah dua karena Abu Hasan juga membentuk pengurus sendiri, termasuk di Kalsel. Setelah itu muncul dorongan untuk rekonsiliasi. Demi kemaslahatan bersama, Guru Tabrani akhirnya bersedia dipilih sebagai Ketua PWNU Kalsel periode 1997-2002.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.