Kolom

Keadaban Profesi Dokter Di Era JKN

Untuk menjadi dokter, dibutuhkan pendidikan khusus agar profesional dengan diberi gelar dokter dari lembaga pendidikannya.

Editor: Irfani Rahman
Foto Ist
Dr.dr. Pribakti B, SpOG(K), Dokter di RSUD Ulin Banjarmasin 

Dr.dr. Pribakti B, SpOG(K)

Dokter di RSUD Ulin Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID - KEADABAN, berasal dari kata “adab” artinya budi pekerti luhur. Bicara tentang keadaban dokter mencakup segala hal tentang keluhuran pemikiran, sikap dan perilaku, maupun budi pekerti dalam pengembangan ilmu,  pengamalan ilmu dan teknologi bagi kemaslahatan kehidupan manusia. Maka dari itu untuk menjadi dokter, dibutuhkan pendidikan khusus agar profesional dengan diberi gelar dokter dari lembaga pendidikannya.

Harus diakui, dalam perkembangannya gelar dokter ini menjadi semakin membanggakan karena di masyarakat kita hanya dokter yang dipanggil dengan menyebut gelar pendidikan tersebut. Mungkin, itulah salah satu yang menjadi sebab mengapa banyak ibu atau orang tua kita suka memberi semangat anaknya sambil berujar, ”Ayo nak belajar yang pinter biar besok jadi dokter”.

Lalu bagaimana pendidikan kedokteran zaman now di Indonesia? Sepertinya sudah beda. Sekarang untuk jadi dokter bukan cuma lama pendidikannya, juga butuh yang namanya duit. Akibatnya tidak heran bila tumbuh keinginan untuk menjadi dokter karena ingin menjadi kaya atau modal pendidikan kembali cepat.

Pada dasarnya yang namanya pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, latihan, ataupun penelitian.

Kalau ada tokoh hebat dan pintar, sering kali orang bertanya, di mana universitas atau sekolahnya. Padahal, tidak semua lulusan fakultas kedokteran universitas tersebut hebat dan sepintar tokoh tersebut. Ada tokoh yang hebat, tapi sekolahnya tidak sampai pendidikan tinggi atau bergelar sarjana. Tapi, sampai sejauh ini, tidak ada seseorang yang otodidak tanpa menyelesaikan pendidikan di fakultas kedokteran kemudian menjadi dokter.

Saat ini masyarakat kita berada di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pengelola tunggal pembiayaannya. Di awal tahun 2019 diharapkan seluruh penduduk Indonesia telah menjadi anggotanya. Beribu-ribu klinik pratama, puskesmas, dan rumah sakit sudah menjadi penyelenggara pelayanan BPJS. Masih dibutuhkan regulasi penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik agar pelayanan tetap pada kaidah ilmu kedokteran.

Sayangnya, pelayanan BPJS Kesehatan masih banyak kendala di lapangan. Banyak kasus yang “dipaksa” untuk dirawat  (tidak boleh dirujuk) walau tanpa kompetensi yang memadai  atau istilah kerennya BPJS “kendali biaya”. Bila bisa di puskesmas kenapa harus ke rumah sakit. Padahal semua tahu tingkat dari semua penyelenggara pelayanan kesehatan beragam dari segi kapasitas kemampuan memberikan pelayanan. Demikian pula dengan bekal ilmu dokter- dokter yang bekerja di berbagai faskes  sudah tentu tidak sama pula.

Memang benar tidak ada yang bisa membedakan seorang dokter lebih pintar dari dokter yang lainnya. Yang ada hanya seorang dokter tahu tentang suatu ilmu pada wawasan yang lebih sempit dan mendalam serta menjalankan profesinya dengan baik. Perbedaan semakin terasa ketika ”apresiasi” masyarakat juga berbeda atau mungkin dibuat berbeda. Apakah sejauh ini para dokter yang menjaga ujung tombak pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan pertama (puskesmas) tidak mampu memberikan pelayanan dasar yang profesional di tempat tugasnya? Sulit untuk menjawabnya. Yang jelas, sepertinya penyesuaian kurikulum di fakultas kedokteran tentu akan menjadi lebih bijak dengan mendengarkan pengalaman mereka yang telah bertahun-tahun lamanya menjalankan profesi dokter.

Untuk itu di era JKN ini dibutuhkan solidaritas positif dari para dokter untuk menjaga keadaban profesinya. Bagaimana pun, pendidikan dan pelatihan profesi dokter butuh disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, JKN dengan konsep asuransi sosial bidang kesehatan butuh terus dicermati lebih seksama agar tidak muncul arogansi yang mematahkan kaidah asuransi kesehatan publik. Dibutuhkan dialog multilateral dengan berbagai pihak agar tercipta sistem penjaminan kesehatan masyarakat yang paripurna, bukan cuma dari aspek kuratif semata, melainkan juga totalitas sinergi yang berkeadilan.

Satu hal yang perlu diingat, mempertahankan manusia Indonesia tetap sehat secara jasmani, rohani dan sosial adalah bagian dari memajukan kesejahteraan umum diamanahkan dalam tujuan bernegara. Masalah kesehatan bukan saja masalah kuratif, melainkan patut diperhatikan juga aspek promotif dan preventifnya. Bagi dokter, tidak perlu munafik bahwa bekerja sebagai dokter itu memang untuk mencari duit. Namun, kalau tumbuh keinginan untuk menjadi dokter karena ingin menjadi kaya, boleh jadi itu akar masalahnya.

Buya Hamka pernah berujar: ”Dengan ilmu, kehidupan menjadi mudah. Dengan seni, kehidupan menjadi indah dan dengan agama, kehidupan menjadi terarah”. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang memenuhi kebutuhan kemaslahatan masyarakat. Sesuai sumpah dokter dalam kondisi apapun, dokter harus tetap memiliki ”ABC” yang baik. Attitude- nya baik  (perilakunya baik), Brain-nya baik (ilmunya banyak), dan Competent (cekatan tangannya). Semoga. (*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved