Bukan Perang Badar

Calon Presiden Amerika Serikat Al Gore batal mengajukan gugatan ke pengadilan atas hasil pemilihan

Editor: Dheny Irwan Saputra
zoom-inlihat foto Bukan Perang Badar
dokbpost
H Pramono BS

Oleh: Pramono BS

Calon Presiden Amerika Serikat Al Gore batal mengajukan gugatan ke pengadilan atas hasil pemilihan presiden yang menempatkan lawannya George W. Bush sebagai pemenang. Padahal selisihnya tidak sampai jutaan suara, ribuan pun tidak. Hanya ratusan saja sehingga memang layak kalau orang mencoba mencari kebenaran melalui pengadilan. Tapi Gore yang dua kali menjadi wapresnya Clinton memilih mengucapkan selamat kepada Bush.

John Mc Cain juga langsung memberi ucapan selamat kepada Barack Obama begitu hitung cepat mengunggulkan Obama. Tak perlu menunggu berhari-hari apalagi membuat hitung cepat sendiri karena lembaga survei yang biasa melakukan hitung cepat semua sudah menyatakan Obama menang.

Begitu indahnya kalau berdemokrasi dibarengi dengan kesadaran bahwa dalam kontes apa pun pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Ada sikap genteleman.

Kita juga baru saja melihat pertandingan piala dunia sepakbola yang penuh dengan sportivitas. Mereka berjuang mati-matian sampai adu pinalti untuk meraih kemenangan. Final Jerman vs Argentina yang begitu menggetarkan hati juga berlangsung dengan menjunjung tinggi sportivitas.

Kondidi ini sangat berbeda dengan di Indonesia. Pemilihan kepala daerah hampir semua diwarnai dengan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Padahal si penggugat jelas sudah kalah, baik lewat hitung cepat maupun lewat hitungan KPU. Mereka langsung menggugat, sedang yang menang "berjaga-jaga" di MK agar kemenangannya tidak dianulir seperti Bupati Gunung Mas, Hambit Bintih (Kalteng). Bintih kini masuk penjara.

Mereka tidak menggugat dengan membawa data yang benar tapi dengan membawa segepok uang. Jadi suara rakyat ditukar dengan uang. Untung kasus-kasus penyuapan hakim MK segera terbongkar. Kini Walikota Palembang Romy Herton dan istrinya ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menyuap Ketua MK untuk memenangkan gugatannya. Romy kalah dari Sarimuda dalam pilkada tapi berbalik dimenangkan MK. Masih banyak lagi contoh yang lain.

Dalam sepak bola juga sama, kalau enggak berkelahi ya wasitnya yang jadi bulan-bulanan. Bukan hanya di lapangan, persaingan juga terjadi di kepengurusan. Jangan dikira pengurus PSSI yang dipilih secara sah sekarang bisa menguasai sepak bola di Indonesia.

***

Dalam pemilihan presiden, sekarang ini kita sedang menyaksikan perang opini antara capres/cawapres Prabowo/Hatta melawan Jokowi/JK. Sebenarnya itu biasa, yang membuat tidak biasa karena keduanya didukung hasil hitung cepat yang berbeda hasilnya. Padahal kalau hitung cepat menggunakan metode yang benar secara keilmuan, niscaya hasilnya tak jauh beda.

Yang terjadi sekarang 7 lembaga survei memanangkan Jokowi/JK, empat lainnya memenangkan Prabowo/Hatta. Masyarakat sendiri cenderung mempercayai kemenangan Jokowi/JK karena lembaga surveinya sudah teruji dan berpengalaman dalam melakukan hitung cepat. Beda dengan empat lembaga survei yang menunjukan hasil sebaliknya, mereka diragukan kredibilatasnya tidak saja oleh masyarakat tapi juga Persepsi (Perhimpunan Survei dan Opini Publik), yakni organisasi yang menaungi lembaga-lembaga survei.

Komisi Penyiaran Indonesia sampai harus meminta agar stasiun televisi menghentikan siaran perolehan suara hitung cepat karena bisa menjadi ajang pertarungan opini rakyat. Meski hitung cepat itu merupakan bagian dari penyelenggaraan pilpres yang sudah disetujui KPU, tapi kini stasiun televisi tidak lagi menayangkan hal itu.

Sedang Persepsi akan melakukan tindakan terhadap lembaga survei abal-abal, yang tidak menaati kode etik dan melakukannya tanpa metodologi yang benar. Sebab ini termasuk kategori pembohongan publik.

Terlalu jauh kalau kita membandingkan dengan AS. Tapi sebaiknya kita mawas diri dan mencoba untuk jujur pada diri sendiri. Salah seorang pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Abdillah Toha pun yakin sebenarnya cawapres Hatta Rajasa sudah merasa dirinya kalah dari pasangan Jokowi/JK.

Dia menyatakan, lembaga survey yang memenangkan Jokowi/JK sudah terbukti akurat. Menyatakan sebaliknya atas dasar lembaga survey tak bertanggung jawab adalah sikap yang memalukan.

Kita tunggu saja 22 Juli saat KPU akan mengumumkan hasil pilpres. Semua pihak sudah berusaha mencegah terjadinya kecurangan dalam penghitungan suara, baik dari partai, relawan, simpatisan, masyarakat luas sampai pers.

Kita hargai sikap kedua kubu yang akan menjaga terjadinya keributan paska pengumuman KPU nanti. Siapa pun pemenangnya harus dihargai. Ini demokrasi bukan perang badar. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved