Mahkamah Kalkulator (MK)

Entah karena dipelesetkan atau memang disengaja, sebuah buku tentang Mahkamah Konstitusi (MK)

Editor: Dheny Irwan Saputra

Catatan Ketatanegaraan
Rifqynizami Karsayudha

Entah karena dipelesetkan atau memang disengaja, sebuah buku tentang Mahkamah Konstitusi (MK) bertajuk "MK = Mahkamah Kalkulator".

Buku itu ditulis sahabat saya Veri Junaidi, Peneliti Hukum Perludem. Satu lembaga nirlaba yang mendedikasikan dirinya pada riset dan advokasi soal kepemiluan dan demokrasi di Indonesia.

Sebagai orang dengan latar belakang hukum tata negara, saya dapat memaklumi julukan Veri terhadap MK sebagai Mahkamah Kalkulator.

Alasan konstitusional kedudukan dan kewenangan MK dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 menyatakan "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum".

Kewenangan MK untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu sebagaimana yang sekarang sedang mereka tangani atas permohonan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta, mesti dibaca dalam koridor konstitusionalitas. Dalam konteks itu, kewenangan MK mesti diletakkan sebagai lembaga peradilan yang bertugas untuk memverifikasi hasil Pemilu.

Hasil pemilu bagaimanapun menyeret MK bekerja dalam koridor kuantitatif. Seorang pemohon mesti mampu mendalilkan bahwa hasil pemilu yang ditetapkan KPU tidak benar dan karenanya ia mesti menunjukkan hasil yang benar, yang berbeda dengan hasil KPU.

Dalam ranah kuantitatif pula, banyak putusan MK terkait sengketa hasil dalam Pemilukada menyatakan, bahwa klaim akan hasil yang valid oleh pemohon, mesti dapat mengubah hasil Pemilu itu sendiri.

Selisih suara calon A dan B misalnya sebanyak 100 suara. Calon A ditetapkan sebagai calon terpilih oleh KPU. Jika calon B hendak mengajukan gugatannya ke MK, maka calon B harus dapat menyatakan bahwa suara yang ia miliki lebih banyak dari calon A, misal ia lebih unggul 101 suara. Selisih 1 suara itu akan mengubah hasil Pemilu.

Akan menjadi masalah, jika calon B hanya mampu membuktikan bahwa selisih antara calon A dan B adalah 90 suara, bukan 100 suara sebagaimana ketetapan KPU.

Selisih 90 suara itu kendati memiliki derajat kebenaran dalam pembuktian di MK, namun ia tak dapat merubah hasil lantaran calon A masih unggul 10 suara dari calon B.

Refleksi berbagai putusan MK dalam memutus banyak perkara perselisihan hasil pemilu, khususnya pemilukada itulah yang membuat Veri Junaidi menamakan MK sebagai Mahkamah Kalkulator. MK dinilai amat kuantitatif dalam melihat berbagai kasus sengketa hasil pemilu yang diadilinya.

Dalam kasus sengketa pilpres saat ini, para ahli terbelah pandangan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari kesaksian yang mereka sampaikan di MK beberapa waktu lalu.

Kelompok ahli pertama berpandangan, MK tak boleh lari dari koridor kewenangn konstitusionalnya untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu, bukan sengketa pemilu secara umum.

Oleh itu, MK mesti menggunakan kacamata kuantitatif untuk dapat memastikan apakah klaim pemohon dapat mengubah hasil pemilu atau tidak.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved