Guru Kencing Berdiri

BARU kali ini wartawan diseret-seret dalam kasus korupsi. Kebetulan tersangkanya seorang menteri,

Editor: Dheny Irwan Saputra
zoom-inlihat foto Guru Kencing Berdiri
dokbpost
H Pramono BS

Oleh: H Pramono BS

BARU kali ini wartawan diseret-seret dalam kasus korupsi. Kebetulan tersangkanya seorang menteri, yakni Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Jero Wacik yang kini sudah mundur. Beritanya sempat hilang karena kalah dari haru biru politik.

Jero adalah menteri ketiga dalam Kabinet Bersatu jilid II yang menjadi tersangka korupsi semasa menjabat. Yang pertama Menpora Andi Mallarangeng dalam kasus Hambalang, kini sudah dihukum. Menyusul Menteri Agama Suryadharma Ali dalam kasus haji.

Jero ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena diduga telah melakukan pemerasan pada sejumlah mitra untuk kepentingan dirinya.

Awalnya sang menteri merasa uang taktis sebesar Rp 120 juta sebulan tidak cukup. Agar mencukupi maka dia meminta kepada sejumlah pengusaha. Ternyata uang itu, menurut KPK, hanya untuk kepentingan pribadi termasuk untuk pencitraan.

Ihwal pencitraan ini rupanya erat kaitannya dengan terlibatnya  seorang pemimpin redaksi dari salah satu surat kabar di Jakarta yang diduga kuat ikut menikmati uang korupsi Jero.

Dalam dunia wartawan sering ada yang disebut ‘amplop’, maksudnya uang imbalan agar wartawan memberitakan atau tidak memberitakan sesuatu objek berita. Sejumlah media sudah lama melarang wartawannya terima ‘amplop’, tapi ada pula yang menghalalkan.

Pencitraan memang tidak bisa dipisahkan dari dunia media, tanpa media pesan sang pencitra tidak akan sampai. Semua orang butuh pencitraan, orang berbuat baik supaya namanya juga baik. Orang berpakaian necis supaya citranya rapi. Ini wajar saja.

Yang kurang wajar kalau pencitraan itu by design, sengaja dibuat agar terkesan baik, sehingga kadang malah terasa aneh. Figur-figur publik biasanya membutuhkan pencitraan model ini agar kelihatan tanpa cela, dipuji-puji dan masyarakat terpesona.

Dalam dunia politik juga banyak, lihat saja calon-calon kepala daerah di masa pilkada. Mereka seperti malaikat layaknya, dermawan, dekat dengan rakyat dan sangat perhatian terhadap rakyat kecil. Gaya blusukan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) juga ada yang menilai sebagai pencitraan.

Istilah pencitraan baru populer 10 tahun belakangan. Pak Harto tidak pernah mengubah gaya pidato atau penampilan yang menjadi ciri khasnya. Begitu pula Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid.

**

Yang menjadi bulan-bulanan soal pencitraan adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sikap, ucapan, cara berpakaian dan keputusannya sering dituduh sebagai lambang pencitraan bagi dirinya. Mantan Presiden Megawati bahkan pernah mengritik sebagai penebar pesona.

Ketika dia mencalonkan diri sebagai presiden pada 2004, dia membiarkan dirinya jadi sasaran kemarahan Megawati. Ternyata orang justru kasihan, Yudhoyono tercitrakan sebagai orang teraniaya dan muluslah jalan untuk menjadi presiden.

Orang juga sering kecewa dengan sikap Yudhoyono  yang tidak tegas, antara kata dan perbuatan tidak sejalan. Orang menganggap yang diucapkan hanya untuk pencitraan. Contoh kasusnya ‘perang’ DPRdengan rakyat soal RUU Pilkada.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved