Bahagia Bermula dari Pikiran

Survei itu mengukur tingkat kepuasan hidup warga yang bisa dipakai untuk mengukur kesejahteraan warga.

Editor: Halmien
shutterstock
ilustrasi 

Karena itu, kebahagiaan amat terkait kemampuan otak. ”Kebahagiaan ditentukan kemampuan berpikir seseorang, bagaimana dia mempersepsi dan menafsirkan sesuatu,” ucap Taufiq.

Seseorang yang bahagia tecermin dari ketenangan dalam hidupnya, tangguh menghadapi tiap tekanan dan cobaan. Ia juga memiliki kehidupan spiritual baik yang membuatnya mampu bersyukur, sabar, dan ikhlas.

Budaya

Selain referensi dan kemampuan melihat diri, faktor budaya menentukan kebahagiaan seseorang. Sebagian kultur menekankan kepemilikan materi sebagai ukuran kebahagiaan. Namun, ada pula budaya yang mengajarkan untuk menerima apa adanya, menjadikan diri sendiri sebagai referensinya.

Dalam konteks berbangsa, Rahmat menilai, pandangan budaya yang menerima apa adanya tak mendukung usaha menjadikan bangsa kompetitif, berorientasi prestasi, dan tak pernah puas atas apa yang dicapai. Namun, konsep itu berisiko meningkatkan depresi warganya.

Karena itu, keseimbangan jadi kunci hidup bahagia. Mengejar materi berlebih tak salah asal diimbangi kehidupan sosial dan keluarga. ”Kebahagiaan hakiki adalah saat seseorang merasa diterima atau memberi manfaat bagi orang lain,” ujar Taufiq. ( M Zaid Wahyudi)

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved