Hukum Ragu-ragu

PERNYATAAN Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Arief Hidayat SH tentang sorotan dunia internasional

Editor: BPost Online
zoom-inlihat foto Hukum Ragu-ragu
dokbpost
H Pramono BS

Oleh: Pramono BS

PERNYATAAN Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Arief Hidayat SH tentang sorotan dunia internasional ihwal eksekusi hukuman mati, ibarat membuat kita terjaga dari mimpi.

Ia mengingatkan, sorotan itu lebih disebabkan pelaksanaan hukum di Indonesia belum baik sehingga ada keraguan apakah benar penegakan hukum itu dilakukan secara adil, tidak dipengaruhi kekuatan lain seperti ekonomi dan politik (Kompas, 9/5/2015).

Singapura, katanya, juga menghukum mati tapi orang tidak ribut karena di sana hukum ditegakkan sebaik-baiknya. Masyarakat internasional percaya pada kehidupan hukum di Singapura. Ketidakpercayaan dunia internasional terhadap penegakan hukum di Indonesia karena masih adanya intervensi politik dan ekonomi sehingga hukum tidak ditegakkan secara fair.

Apa yang dikatakan Arief tentu sudah didasari pengamatan mendalam. Dia seorang guru besar fakultas hukum. Rakyat sebenarnya juga paham akan hal itu namun tidak memiliki otoritas dan legitimasi untuk menilai, apalagi kalau akhirnya apa yang diucapkan juga menjadi perkara.

Konflik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) vs Polri yang berlanjut penangkapan pimpinan dan penyidik KPK patut dipertanyakan, murni kriminal atau kriminalisasi.

Secara yuridis Polri tidak salah karena benar kasusnya ada, tapi mengapa kasus yang lama itu tidak diselesaikan sejak dulu. Apalaginya kasusnya juga biasa.

Kasus yang menjerat penyidik KPK Novel Baswedan yang dituduh membunuh pencuri sarang burung walet pada 2004, bahkan sudah hampir kedaluwarsa. Juga, mengapa Polri menugaskan Novel ke KPK untuk menjadi penyidik, tanpa diselesaikan dulu kasusnya. Tentu ada konteks yang menyebabkan kasus-kasus pimpinan dan penyidik KPK dibuka.

Penegakan hukum di Indonesia sering menimbulkan keprihatinan, tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Nenek pencuri kayu jati, melon, kakao, jemuran bahkan anak pencuri sandal pun dihukum.

Tapi seorang terdakwa bisa dilantik menjadi Sekretaris Daerah Provinsi, walau akhirnya dibatalkan. Menjadi tersangka di Indonesia juga bukan jaminan bakal dilengserkan dari jabatannya, sebaliknya bisa dilantik menduduki jabatan lebih tinggi.

***

Agak mengejutkan KPK kini membuka lowongan bagi pensiunan perwira tinggi TNI untuk menjadi pegawainya, kalau perlu sebagai penyidik. Selama ini tenaga bantuan untuk KPK datang dari Polri dan Kejaksaan tetapi masih kurang juga. Apalagi kalau instansi asal, menarik dan tidak mengganti lagi. TNI tidak bisa karena dilarang undang undang (UU).

Kecuali alasan kekurangan tenaga tentu KPK juga menginginkan lembaganya kuat dan disegani, tidak sembarang kekuatan bisa merobek-robek. Selama ini senjata KPK hanya moral. Kita maklum kalau KPK menginginkan suasana kerja yang kondusif.

Yang tidak kalah penting, pembuat kebijakan di bidang hukum hendaknya konsisten. Kasus putusan praperadilan yang memenangkan Komjen Budi Gunawan perihal penetapan tersangka oleh KPK tidak bisa dimintakan kasasi.

Padahal kasus serupa yang memenangkan Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pasific Indonesia dalam praperadilan, bisa dimintakan kasasi oleh jaksa dan dikabulkan Mahkamah Agung. Bachtiar pun tetap tersangka, hakimnya kena sanksi. Saat itu penetapan tersangka bukan obyek praperadilan.

Halaman 1/2
Tags
Spirit
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved