Tes atau Tas

SEJAK terbongkarnya kasus ijasah palsu menyusul inspeksi mendadak (sidak) Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan

Editor: BPost Online
zoom-inlihat foto Tes atau Tas
dokbpost
H Pramono BS

Oleh: Pramono BS

SEJAK terbongkarnya kasus ijasah palsu menyusul inspeksi mendadak (sidak) Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir, banyak orang kebingungan.

Ada anggota DPR, DPRD dan pegawai negeri sipil (PNS) yang berancang-ancang cari selamat. Pegawai swasta cenderung lebih tenang karena mereka tidak perlu ijasah lagi untuk menembak sasaran lebih tinggi seperti di lingkungan pemerintahan.

Sebenarnya kasus seperti itu sering terungkap, tapi sporadis. Kepala daerah yang dilengserkan karena ijasah palsu juga ada, tapi karena tidak diusut dari sumbernya maka yang lain aman-aman saja. Sekarang berbeda, dibabat dari asalnya sehingga akan ketahuan siapa saja yang sudah menyandang gelar S1, S2 bahkan S3 palsu.

Kita tentu tidak pernah lupa dengan perjuangan anak-anak yang akan menempuh ujian nasional SD, SMP dan SMA. Mereka berjuang ibarat mau maju perang, belajar setiap hari, berdoa sampai melakukan istigasah demi mendapat pertolongan Allah agar lulus ujian. Mereka berjuang dengan otak, iman sampai air mata.

Pemerintah menghadapi mereka dengan sikap yang superhati-hati, penuh rasa tidak percaya. Sebenarnya bukan anak-anak yang dicurigai tapi orangtuanya. Sampai-sampai soal-soal ujiannya dikirim ke daerah dengan pengawalan. Penyimpanannya pun dilakukan di kantor polisi.

Bahkan ujiannya diawasi secara ekstra ketat. Wajar anak-anak bersuka cita manakala lulus ujian. Mereka beramai-ramai berkeliling kota atau kampung.

Bandingkan dengan orangtua mereka yang akan mengikuti ujian sarjana, master bahkan doktor. Mungkin karena tingkat kedewasaannya berbeda maka perlakuannya pun lain. Secara psikologis beban anak-anak lebih berat.

Lebih gampang lagi kalau itu ujian abal-abal yang kini telah menghasilkan ribuan sarjana, mulai S1, S2 sampai S3. Mereka inilah yang sekarang menguasai posisi di pemerintahan.

Semua pakai embel-embel gelar yang tidak semua sah. Banyak memang yang memiliki gelar melalui perjuangan berat, ada yang sampai ke luar negeri. Tapi tak terhitung yang gelarnya cuma tipuan belaka. Yang bergelar resmi pun bukan jaminan segalanya, apalagi yang cuma sabetan.

Tahun 1970-an jarang PNS pakai gelar, lurah lulusan SMA pun bisa dihitung. Sekarang hampir semua lurah khususnya di kota bergelar sarjana, ada yang master, mungkin juga doktor.

Saya bayangkan, betapa hebatnya negeri ini andaikata gelar yang menempel pada nama-nama mereka bisa dipertanggungjawabkan keilmuan dan moralitasnya. Tak pelak lagi Indonesia akan menjadi negara yang hebat, bisa menjadi negara yang super maju.

Celakanya yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan usia pensiun PNS yang semula 56 tahun malah diperpanjang menjadi 58 tahun, eselon II bisa sampai 60 tahun. Berarti akan lama pula kitadipimpin oleh orang-orang yang diragukan kredibilitasnya.

Di Jawa ada sejumlah pegawai yang berniat mundur dengan alasan sudah jenuh. Tentu saja ini alasan yang aneh karena kebanyakan dari mereka justru bersuka cita dengan diperpanjangnya usia pensiun. Bisa jadi mereka adalah bagian dari orang-orang yang lagi kelimpungan karena ada operasi ijasah palsu.

***

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved