Bumbung
PADA era 1970 dan 1980-an, pemilihan kepala desa (Pilkades) di Jawa banyak diwarnai dengan dihadirkannya
Pilkades dan Pilkada memang beda kelas, yang berkepentingan pun berbeda. Pilkades hanya kepentingan rakyat, yang dicoblos pun tanda gambar semacam ubi, jagung, pisang atau hasil bumi lain yang menandakan tidak adanya kaitan politik. Baru sekarang Pilkades beraroma politik bahkan dipolitisasi.
Pilkada juga untuk pentingan rakyat agar memiliki pemimpin yang definitif. Tetapi yang lebih berkepentingan sebenarnya parpol, kepentingan rakyat hanyalah pemanis. Ini bisa dilihat dari cara-cara parpol memainkan peranannya.
Mahar masih tetap dominan untuk menentukan bakal calon, bukan ideologi yang menjadi ciri tiap parpol. Simbol perjuangan yang di tingkat pusat ditunjukkan lewat Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) pun luntur oleh kepentingan. Jadi kalau parpol mengatakan untuk kepentingan rakyat sebenarnya juga berlebihan.
Munculnya calon tunggal juga tidak lain permainan strategi lawan agar Pilkada ditunda karena lawannya cukup berat. Keinginan sementara fraksi-fraksi DPR tempo hari agar Pilkada serentak ditunda dengan berbagai argumen, menunjukkan iktikad yang tidak baik, karena mereka sebenarnya belum siap.
Karena itu permainan seperti ini harus diimbangi keputusan berani pemerintah sehingga meski pasangan calon hanya tunggal pun Pilkada tetap jalan.
Ada yang usul, agar di daerah yang calonnya tunggal, pemenangnya ditetapkan saja oleh DPRD setempat sebagai representasi rakyat.
Adapula yang usul digelar referendum, rakyat tinggal memilih iya atau tidak. Ini esensinya sama dengan melawan bumbung atau kotak kosong. Di saat menghadapi kebuntuan, kearifan memang diperlukan. Tak perlu malu dengan orang desa. Hitung-hitung ini kado buat peringatan 70 tahun kemerdekaan. (*)