"Menunggu Sampai Lulus, Belum Tentu Aku Bisa Dapat Pasangan"
Meski tak jauh dari ibu kota, adat istiadat desa ini jauh berbeda dibanding Jakarta. Pernikahan anak merupakan hal biasa di desa ini
“Kehamilan akan segera menyusul, perceraian sudah hal biasa, peluang karier semakin terbatas, banyak yang pada akhirnya menjadi pembantu rumah tangga,” kata Deni, “Dan kemiskinan akan terus melanda.”
“Para orangtua di sini berpendapat menikahkan putri mereka dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada menamatkan sekolah mereka. Jika putri mereka dinikahkan, maka beban ekonomi dalam rumah tangga akan berkurang,” tambah dia.
Sebagai seorang pendidik, Deni sudah berusaha menghentikan pernikahan Nira yang akan segera berlangsung.
Ia sudah memohon pada orangtua Nira untuk mempertimbangkan kembali dan memberikan kesempatan bagi Nira untuk menyelesaikan sekolahnya. Namun, usaha itu tidak membuahkan hasil.
“Saya percaya bahwa sebenarnya tidak ada murid saya yang ingin menikah dini.Tak satupun dari mereka yang tampak kehilangan minat belajar sebelum pernikahan mereka," Deni melanjutkan.
Selembar surat undangan pernikahan Nira tergeletak di atas meja Deni. Pria itu sesekali melirik undangan berwarna merah muda cerah tersebut.
Seorang anak bernama Desi mengatakan bahwa teman-teman sekolahnya tidak lagi menghabiskan waktu bersama mereka yang sudah menikah.
“Tidak lama kemudian mereka akan hamil atau sibuk dengan anak-anak,” ucapnya.
Dan menurut Desi, kecil kemungkinan bahwa Nira akan kembali bersekolah setelah menjadi seorang istri. “Aneh saja (jika seorang yang sudah menikah masih bersekolah)," ujar Desi.
Beberapa anak memberikan saran untuk Nira. “Jangan bertengkar dengan suami,” kata salah satu temannya.
“Cepat punya anak,” kata teman yang lain. Di desa tersebut, memiliki anak adalah suatu pandangan yang menarik.
Namun, tidak satu anak pun tahu persis bagaimana caranya seseorang bisa hamil. (kompas.com/Nick Baker, UNICEF)