Ini Alasan Mengapa Rumah Sakit Ogah Mengolah Limbah B3-nya
Harga incinerator yang bagus hingga bisa memusnahkan kaca harganya mencapai Rp1 miliar. Sedangkan, yang biasa berkisar Rp 400 juta
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Mahal. Itulah alasan sang pemilik, H Ahmad Zaini, mengapa Rumah Sakit (RS) Aveciena, Martapura,Kabupaten Banjar, tidak memiliki incinerator atau alat pemusnah limbah medis padat. Padahal itu merupakan salah satu syarat sebuah rumah sakit.
"Kalau yang bagus hingga bisa memusnahkan kaca harganya mencapai Rp1 miliar. Sedangkan, yang biasa berkisar Rp 400 juta," katanya.
Sementara ini keuangan rumah sakit terbatas. Pasiennya hanya 8-13 orang per hari. "Sejak berdiri pada April 2014 pendapatan rumah sakit masih terbatas. Untuk gaji karyawan dan operasional masih disubsidi," ujar Ahmad Zaini.
Meski demikian, dia tengah berupaya memiliki sebuah incinerator rakitan. "Saat ini proses. Sementara itu untuk pemusnahan limbah kami bekerja sama RSUD Banjarbaru," ujarnya.

staypublichealth.blogspot.com
Limbah B3 rumah sakit berupa sisa alat medis bekas
Kepala Dinas Kesehatan Kalsel, Achmad Rudiansjah, menegaskan setiap rumah sakit perlu memiliki incinerator. Apalagi alat ini merupakan salah satu syarat meningkatkan akreditasi.
"Kalau RS-nya tipe C, tidak mutlak ada incinerator. Tapi itu sebagai indikator akreditasi rumah sakit," kata Rudiansjah, Senin (4/1).
Bagi rumah sakit yang tidak memiliki incinerator, dia mengatakan harus bekerja sama dengan pihak lain yang memilikinya. "Misal di LIK Lianganggang milik Pemprov Kalsel. Itu bisa dimanfaatkan," kata dia.
Rusdiansjah juga menjelaskan pembelian incinerator di RS kerap disesuaikan volume limbah yang dihasilkan. "Kalau sedikit, cukup bekerja sama dengan instansi yang memiliki incenerator. Misal seperti di Batola bisa ke RS Anshari Saleh," kata dia.
Persoalan bertambah besar jika limbah medis dibuang sembarangan. Dinkes Kalsel akan meminta keterangan pihak rumah sakit. "Kalau masalahnya berat, bukan hanya pihak RS, kepala daerahnya juga akan kami panggil," tegasnya.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalsel, Ikhlas Indar, menegaskan limbah medis harus diproses oleh rumah sakit. Itu karena sangat rentan menyebarkan penyakit. Oleh karena itu pemerintah daerah masing-masing rumah sakit harus bertanggung jawab.
"Provinsi hanya memberikan pemantauan dan pembinaan ke BLHD daerah masing masing," ujarnya. (wid/lis)
BACA LENGKAP: Harian Banjarmasin Post Cetak Edisi, Selasa (5/1/2016) atau Epaper BPost
