Mengenang H Ahmad Makkie Anak Pondok
Memang di kota Amuntai, sering diadakan Haflah Tilawah Alquran di Masjid Agung Amuntai (waktu itu disebut Masjid Raya).
Oleh: KH Husin Naparin
Wakil Ketua Umum MUI Kalsel
Ia menjuluki dirinya anak pondok. Kini ia telah tiada. Rabu 27 Januari 2016, pukul 15.10 Wita, ia tutup usia di rumahnya Jalan Cempaka Sari II Nomor 78 Banjarmasin; dalam usia 77 tahun, dimakamkan di Kompleks Pondok Pesantren Al-Waladi Birayang, Hulu Sungai Tengah.
Aku (penulis, Red) sudah kenal H Ahmad Makkie dari jauh, kendati beliau tidak mengenalku waktu itu, yaitu sejak aku duduk di Normal Islam Putera Rakha Amuntai, setingkat Aliyah. Aku senang mendengar bacaan Alquran yang dilantunkan oleh Pak Makkie sebagai qari kesohor, qari KIAA.
Memang di kota Amuntai, sering diadakan Haflah Tilawah Alquran di Masjid Agung Amuntai (waktu itu disebut Masjid Raya). Aku dan teman-teman duduk di lapangan terbuka mendengarkan qari-qari terkenal, selain Pak Makkie, yaitu Syamsuri Arsyad, A Jazuli dari Barabai, Jahri Fadli dan Gazali Rahman dari Banjarmasin, dan H Darmawan dari Amuntai.
Ini yang bisa kuingat.
Aku juga takjub mendengar suara merdu Pak Makkie mengumandangkan azan Zuhur di Masjid Raya Amuntai, ketika tamu dari Mesir berkunjung yaitu Syekh Al Azhar, DR Al Fahham dan Syekh Hassan Bayuni dari Kedutaan Mesir di Jakarta 1964.
Tahun 1966 aku masuk Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin di Amuntai, tepatnya di Kompleks Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha). Sebelum resmi menjadi mahasiswa, setiap calon mahasiswa (cama) diharuskan mengikuti Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram), peloncoan menurut istilah dahulu.
Aku mulai mengenal Pak Makkie dari dekat. Beliau menjabat Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Amuntai, yang ketuanya waktu itu Pak Syafriansyah. Pak Makkie juga menjabat sebagai Ketua Panitia Pelaksana Mapram tahun itu. Setiap peserta ditugaskan mengumpulkan tanda-tangan sejumlah pejabat di HSU, dimaksudkan agar cama tahu bagaimana berhadapan dan berurusan dengan para pejabat dan tidak rendah diri.
Aku pun pergi ke sana ke mari mengumpulkan tanda tangan dimaksud, sampai di rumah Ketua DPRD HSU (Bapak Abdul Muthalib, waktu itu). Kebetulan beliau sedang berada di luar daerah. Lalu kolom untuk tanda-tangan Ketua DPRD tersebut ditanda tangani oleh istrinya. Alangkah bodohnya aku waktu itu. Aku pikir bisa diwakili, biar cepat selesai dan panitia pelaksana juga tidak mengetahui.
Karena kecerobohanku ini, aku diajukan ke Mahkamah Mapram dan dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara karena dianggap memalsukan tanda tangan (kendati hukuman tersebut i-incaan). Hakim yang mengetuk palu adalah Pak Makkie.
Sesudah aku mengikuti perkuliahan di Fakultas Ushuluddin 1966-1969, aku sering ke rumah Pak Makkie untuk mengikuti tadarus Alquran. Aku menjadi dekat dengan keluarga Pak Makkie sekeluarga di Pesanggarahan, bertempat di depan lapangan sepak bola di Murung Sari, Amuntai.
Kami ramai-ramai berjalan kaki dari Asrama Ponpes Rakha di Pekapuran Amuntai. Tadarus dilaksanakan seminggu sekali di malam hari. Ibu (mamanya Haris atau istri Pak Makkie) selalu sibuk menyiapkan suguhannya, ada pisang basanga atau guguduh batilanjang; juga kolak waluh. Terasa sekali keakraban antara para mahasiswa dengan Pimpinan Senat Mahasiswa. Semua ini berkesan sekali dalam pembentukan pribadi kami sebagai mahasiswa. Pak Makkie bagi kami terasa berwibawa.
Waktu terus berjalan, tahun 1973 s/d 1985, aku mendapat tugas belajar ke luar negeri yaitu ke Mesir, Saudi Arabia dan Pakistan. Tahun 1985 aku pulang dan menetap di Banjarmasin. Aku tahu Pak Makkie menjadi bupati dua periode di Tapin. Aku pernah diundang untuk berceramah Nuzulul Quran di Masjid Khumasa Rantau. Aku tersanjung dengan undangan Pak Bupati.
Aku sering meminta saran dan pendapat kepada Pak Makkie, lebih-lebih ketika aku menjadi Ketua Umum MUI Kota Banjarmasin dan sebagai Ketua Umum Badan Pengelola Masjid Raya Sabilal Muhtadin Banjarmasin. Hubunganku dengan Pak Makkie menjadi lebih kental dan erat, karena beliau menjabat sebagai Ketua Umum MUI Kalsel periode 2011-2016, dan aku sebagai wakil beliau.
Aku sering satu mobil dengan Pak Makkie. Lewat itu aku banyak mendapat cerita-cerita pendek padat berisi sebagai anekdot bahan ceramah. Dalam segi ibadah, aku kalah gesit dengan Pak Makkie, khusus masalah puasa Senin-Kamis. Pak Makkie sering menggerinil, yaitu melagukan lagu-lagu bacaan Alquran ketika menyendiri.
Pak Makkie aku kagumi, karena di tengah-tengah kesibukannya masih sempat menulis sejumlah buku, antara lain Biografi Para Ulama Banua. Allah Yarham, Pak Makkie. (*)