Ini Dongeng Gerhana Matahari yang Dipercaya Suku Dayak Wehea Turun Temurun

Dongeng tentang matahari dan bulan diturunkan dari generasi ke generasi di antara keluarga di Suku Dayak Wehea, Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Editor: Eka Dinayanti
zoom-inlihat foto Ini Dongeng Gerhana Matahari yang Dipercaya Suku Dayak Wehea Turun Temurun
travel indonesia
Gerhana matahari total

Dalam amarahnya yang membara dan penyesalan mendalam, Dea Pey menjadi matahari di langit.

“Kita akan bertemu jika kamu bisa mengejar aku suatu hari nanti. Saat kita sama-sama melepas rindu kita akan bisa berkumpul lagi,” katanya.

Weluen ditinggalkan dalam penyesalan mendalam pula, juga perih akibat luka bakar.

Hari demi hari sebagian luka di tubuh Weluen itu membaik, kecuali di bagian punggung yang membusuk dan berulat. Weluen tersiksa dan menangis setiap malam karena sulit membersihkan luka di punggung.

Tangisnya yang menyayat mengundang kehadiran burung perungguk. Kepada perungguk, ia menceritakan dirinya yang ditinggal suami dengan luka bakar. Perungguk iba. Dengan paruhnya, ia membersihkan sisa luka Weluen.

Luka itu membutuhkan perawatan lama. Perungguk sampai tinggal menetap seatap dengan Weluen.

Ia pun mulai jatuh cinta pada Weluen. Cinta tak berbalas, tapi perungguk keras hati.

Perungguk rajin membersihakan luka hingga bertahun-tahun lamanya sambil berharap bisa mendapatkan Weluen.

Setelah sembuh, Weluen berencana mengejar Dea Pey yang sudah menjadi matahari.

Dengan muslihat, Weluen meninggalkan perungguk yang sudah menemaninya bertahun-tahun membersihkan luka.

Perungguk menemukan Weluen terbang ke langit. Meski jauh melampaui kemampuannya mengejar ke langit, perungguk tidak putus asa. Ia mencoba mengejar Weluen.

Perungguk mencapai batas kemampuannya untuk terbang. Maka turunlah si perungguk. Ia menyaksikan Weluen menjadi bulan.

Bersihkan hama
Kisah Dea Pey dan Weluen Long diceritakan turun temurun. Kisah seperti ini memang sudah mulai pudar. Beberapa orangtua saja yang masih mengingatnya.

Ding Lung, salah satu di antara warga Dayak Wehea yang masih mengingat cerita ini.

“Anak-anak disuruh masuk di bawah rumah (saat gerhana). Di situ, orangtua kita menceritakan kisah seperti ini,” kata Ding yang tinggal di Desa Nehas Liah Bing, Sabtu (5/3/2016).

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved