Justice Collaborator

JC tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun kesaksiannya dapat

Editor: BPost Online
zoom-inlihat foto Justice Collaborator
dokbpost
H Pramono BS

JUSTICE Collaborator adalah saksi pelaku tindak pidana yang bekerja sama dalam perkara tindak pidana tertentu. Saksi pelaku bisa ditetapkan sebagai Justice Collaborator (JC) apabila dia mau membantu mengungkap sebuah perkara.

JC tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim untuk meringankan pidananya.

Bedanya dengan Whistle Blower (WB), WB hanyalah pelapor tindak pidana, bukan pelaku. WB tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan/kesaksian yang akan, sedang dan telah diberikan sesuai Undang Undang No 13 tahun 2006.

Salah satu contoh WB adalah mantan anggota DPR dari PDIP Agus Condro Prayitno yang melaporkan kasus penerimaan cek sejumlah anggota DPR terkait persetujuan untuk memilih Miranda Gultom sebagai Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia. Miranda Gultom dan sejumlah temannya yang terlibat dihukum.

JC atau WB itu diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (WB) maupun kesaksian pelaku yang bekerja sama dalam sebuah perkara tindak pidana (JC). Tindak pidana yang dimaksud adalah korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang dan tindak pidana lain yang bersifat terorganisir dan menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.

Selama ini kita sering membaca atau mendengar tentang JC, tapi yang paling sering hanyalah dalam kasus korupsi. Itupun dari para tersangka yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Banyak jenis tindak pidana yang bisa di JC kan dan yang paling meresahkan saat ini selain korupsi adalah tindak pidana narkotika. Berita tentang penangkapan pengedar atau bandar narkoba/sabu tak pernah berhenti, setiap hari ada. Pelakunya juga dihukum mati tapi mereka tidak jera. Barang itu terus mengalir masuk, sepertinya ada yang membuat mereka berani.

Jaringan pengedar narkoba ini sangat luas, bahkan bisa dilakukan dari dalam penjara seperti Freddy Budiman. Mereka tidak mungkin bekerja sendiri. Karena itu untuk membongkar jaringan perlu kerja sama dengan mereka juga, misalnya menjadi JC.

Persoalannya siapa yang berani menawarkan status itu pada pelaku tindak pidana narkotika. Kalau saksi atau tersangka ngoceh banyak pihak yang akan terkena dampaknya. Di luar negeri terutama Amerika Latin, bukan rahasia lagi petugas hukum bekerja sama dengan bandar narkoba. Di dalam negeri hanya cerita-cerita saja.

***
Contohnya testimoni terpidana mati Freddy Budiman yang baru saja dieksekusi di Nusakambangan. Dia menceritakan kepada Ketua KontraS Haris Azhar bahwa pernah memberikan Rp 450 milyar kepada aparat BNN (Badan Narkotika Nasional), Polri dan TNI.

Tapi Haris Azhar mengaku tak punya bukti karena tidak direkam, sebab hal itu dilarang di dalam penjara. Testimoni itu sudah disampaikan pada 2014. Entah mengapa Haris baru mengatakan sekarang, sehingga hanya menyulut kemarahan pihak tertentu. TNI langsung mengadukan Haris ke polisi.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian segera mencari fakta, kalau tak ada maka perkaranya ditutup. Kepala BNN Budi Waseso justru berterima kasih kepada Haris dan mengajaknya untuk bekerja sama mengungkap kasus itu. Jaksa Agung Prasetyo minta Haris membuktikan. Tapi masyarakat mendukung Haris. Sejumlah korban pemerasan kasus narkoba oleh petugas, kini melapor ke KontraS.

Presiden Joko Widodo lain lagi sudut pandangnya. Dia minta informasi itu diusut, pelakunya harus ditindak tegas. Jokowi memang menempatkan penanggulangan narkoba dalam skala prioritasnya di samping pemberantasan korupsi.

Menurut BNN pengguna narkoba di Indonesia saat ini sekitar 5,8 juta jiwa, pada 2013 baru sekitar 4 juta jiwa. Korban meninggal rata-rata 40-50 orang setiap hari. Ini fakta betapa gawatnya peredaran narkoba di negeri ini.

Hanya dengan menangkap kurir-kurir atau bandar rasanya sulit untuk mengungkap jaringan. Mereka perlu diberi “iming-iming” agar mau buka mulut. Bisa saja dijadikan justice collaborator seperti yang saya ungkap di atas, dengan imbalan hukuman yang diperingan.

Kalau perlu hukuman mati bisa dijadikan seumur hidup lewat grasi jika bisa mengungkap siapa saja yang terlibat termasuk aparat. Pengemplang pajak saja diampuni, kenapa terpidana narkoba tidak. Tapi apakah aparat hukum berani? (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aneh Tapi Waras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved