Lima Abad Salah Urus Jakarta, "Pemerintah Sering Menerabas Prinsip Normalisasi Sungai"

”Kenyataan bahwa mereka sudah bermukim di bantar sungai, jauh sebelum peraturan itu diberlakukan, tidak bisa menjadi pembenaran"

Editor: Didik Triomarsidi
zoom-inlihat foto Lima Abad Salah Urus Jakarta,
tribunnews.com
Warga yang ingin melintasi Jalan KH Abdullah Syafei Jakarta Selatan, masih harus menggunakan gerobak atau perahu, karena banjir masih menggenangi jalan di kedua arah hingga setinggi satu meter.

BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Ibu Kota sejak zaman purba hingga di abad modern ini adalah kawasan dengan banyak sungai dan berawa-rawa.

Kondisi ini adalah hal mendasar yang menurut Prof Dr Hadi Susilo Arifin, pakar manajemen lanskap dan ekologi DAS dari Institut Pertanian Bogor (IPB), ataupun sejarawan Restu Gunawan, yang mendalami sejarah banjir Jakarta, harus dipahami betul baik oleh para pemangku kebijakan maupun warga penghuni kota.

Prof Hadi, saat dihubungi Jumat (26/8/2016), mengatakan, perlu dipahami aturan bantaran kali adalah ruang milik publik milik umum yang harus bebas dari bangunan apa pun.

Siapa pun wajib mematuhi Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63 Tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011.

”Kenyataan bahwa mereka sudah bermukim di bantar sungai, jauh sebelum peraturan itu diberlakukan, tidak bisa menjadi pembenaran,” katanya.

Hadi menegaskan, sungai lebih baik ditata secara alami. Tetapi, kondisi lapangan berkata lain. Tepi kali yang berbatasan dengan aspal jalan atau berkontur curam diturap beton.

Ada baiknya beton dibuat bercelah agar pohon atau semak belukar bisa tumbuh. Penyerapan air ke tanah pun bisa terus terjadi.

Ia juga mengingatkan pemerintah yang masih sering menerabas prinsip normalisasi aliran sungai, yaitu tidak boleh meluruskan aliran sungai yang berbelok-belok.

Sungai secara alami berkelok-kelok berfungsi menahan air selama mungkin di daratan.

Jika dibuat lurus-lurus, itu namanya kanal yang berfungsi sebagai drainase, membuat air cepat sampai ke laut.

Selain itu, karakteristik sungai di kepulauan dan daratan benua sangat berbeda. Tidak bisa menyamakan sungai di Jakarta dengan kota di Eropa.

Sungai yang melintasi benua biasanya panjang, berarus tenang, dan jauh dari laut. Tinggal di tepiannya pun dianggap tak berbahaya.

Sungai di kepulauan itu pendek-pendek, ketinggian 0-1.000 meter di atas permukaan laut, arus deras dan cepat.

Areal bantaran sungainya tak cocok untuk hunian atau tempat usaha. ”Sungai di daratan kepulauan itu kerap banjir bandang,” katanya.

Restu yang berkarier di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini menegaskan, tidak ada cerita di dalam sejarah kalau Jakarta bisa bebas banjir.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved