Pengayom yang (Tak) Menganyomi

Saat ini, perhatian publik di Kalimantan Selatan (Kalsel) juga tersedot oleh kasus yang menyerupai Angeline. Kekerasan dan penyiksaan

Editor: BPost Online
BPost Cetak
Ilustrasi 

MASIH segar dalam ingatan masyarakat terkait penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan ibu angkat terhadap bocah di Bali, Angeline. Sejak kasus itu mencuat hingga proses persidangan berakhir, terus menyedot perhatian berbagai kalangan. Setidaknya, kasus tersebut menambah daftar panjang jenis kejahatan terhadap anak yang selama ini sering muncul. Misalnya pedofilia.

Saat ini, perhatian publik di Kalimantan Selatan (Kalsel) juga tersedot oleh kasus yang menyerupai Angeline. Kekerasan dan penyiksaan terhadap anak yang dilakukan ibu angkat, yang menjadi warta utama harian pagi BPost edisi Jumat (18/11). Tragisnya, bocah yang masih berusia delapan tahun itu menjadi sasaran penyiksaan ibu angkatnya selama setahun. Mulai dipukul pakai tangan, palu hingga tubuhnya disiram air panas.

Tak berlebihan jika kasus itu menjadi buah bibir, obrolan dan diskusi non formal para warga mulai di rumah makan, warung-warung hingga pangkalan ojek. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang membicarakan kasus itu menumpahkan seluruh keprihatinan dan emosi serta hujatan terhadap pelaku. Apapun statusnya, orangtua asli maupun angkat harus memberikan pengayoman kepada sang buah hati.

Kasus itu menunjukkan bahwa orangtua yang seharusnya menjadi pengayom, tapi tak lagi mengayomi.

Sebaliknya, justru menjadi buas dan bengis terhadap anak. Termasuk, keberadaan keluarga yang seharusnya menjadi bagian penting tempat belajar dan pengembangan diri di luar pendidikan formal, malah berubah menjadi arena penyiksaan bak neraka.

Apa pun alasannya, yang dilakukan perempuan bernama Fitria Rahayu, ibu angkat korban yang diduga melakukan penyiksaan itu, tidak bisa dibenarkan. Apalagi jika mengacu hukum positif di negeri, perbuatan Fitria Rahayu itu jelas melanggar Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak yang diancam hukuman maksimal 10 tahun penjara.

Meskipun saat ini kasus itu sedang ditangani kepolisian (Polresta Banjarmasin), bukan lantas perkaranya selesai. Banyak hal yang menjadi catatan dan pelajaran semua pihak.Tak bisa dibayangkan, bagaimana kondisi psikologis korban selama setahun mengalami penyiksaan. Memang ini terkesan aneh, karena selama setahun tidak ada yang mengetahui aksi keji orangtua angkat itu.

Kemudian juga menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi yang paling berat kepada pelaku, agar menjadi pelajaran bagi semua orangtua tidak seenaknya sendiri melakukan penyiksaan terhadap anak. Ini perlu kontrol, pengawasan dan pengawalan semua lapisan masyarakat.

Begitu juga pemerintah daerah harus memberi solusi pengasuhan kepada korban. Mengingat, korban sejak umur 1,5 tahun berstatus yatim piatu. Secara moral, tidak mungkin menyerahkan pengasuhan kepada orangtua angkat tersebut karena terbukti tidak bisa memberi pengayoman. Semoga kasus itu menjadi pelajaran semua pihak, untuk senantiasa bisa mengayomi anak secara baik. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Pahlawan Prisma

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved