Nasib Buruh Pabrik di Depok Bekerja 22 Jam Sehari dan Tak Dihitung Lembur, Upah di Bawah UMR
Sejumlah buruh perempuan PT Kaisar Laksmi Mas Garment di Jalan Tole Iskandar, Sukamaju, Cilodong, Depok, mengeluhkan jam kerja yang tak manusiawi.
BANJARMASINPOST.CO.ID, DEPOK - Sejumlah buruh perempuan PT Kaisar Laksmi Mas Garment di Jalan Tole Iskandar, Sukamaju, Cilodong, Depok, mengeluhkan jam kerja yang tak manusiawi.
Sekitar tiga ratusan buruh di pabrik garmen itu di kerap diminta bekerja nyaris seharian, atau sekitar 22 jam, tanpa dihitung lembur sama sekali. Sehingga, upah mereka tetap dan tak bertambah meski bekerja hampir seharian.
Jika tak mau, maka sanksi pemecatan tanpa pembayaran gaji, apalagi pesangon, akan mereka terima.
Karena hal ini, beberapa suami dari para pekerja atau buruh perempuan di pabrik garmen itu akan melaporkan hal ini ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Depok atau Kementerian Tenaga Kerja, Senin (20/2/2017) besok.
RS (26), suami salah satu buruh perempuan di pabrik garmen itu menuturkan, istrinya sudah bekerja selama sekitar tiga tahun atau sejak 2014 lalu.
"Istri saya sempat diberhentikan bekerja pertengahan 2016 karena sering tidak masuk karena sakit. Sebab, istri sedang hamil anak kedua dan kerjanya tidak manusiawi. Saat usia kandungan istri enam bulan, istri saya diberhentikan," kata RS, yang tinggal tak jauh dari lokasi pabrik di Sukamaju, Cilodong, Depok, kepada Warta Kota, Minggu (19/2/2017).
Menurut RS, setelah istrinya melahirkan anak pertama pada Oktober 2016, sang istri bekerja kembali di pabrik garmen itu.
"Sistemnya kontrak enam bulan dan perpanjang setelah masa kontrak habis. Sebelumnya, sistem kontraknya setahun," jelas ayah dua anak itu.
Ia mengatakan, hari kerja istrinya di pabrik garmen itu adalah Senin sampai Jumat. Sementara, jam kerjanya, kata RS, dimulai pada pukul 07.00 dan pulang paling cepat atau selesai bekerja pada pukul 20.00.
Namun, menurut RS, sangat sering istrinya dan 300-an buruh pabrik di sana, baru boleh pulang pukul 24.00 atau tengah malam, dan bahkan pada pukul 05.30 esok harinya.
"Selama bekerja di pabrik itu, paling cepat istri saya pulang atau selesai bekerja jam 8 malam atau jam 20.00. Yang paling sering, dia bekerja sampai jam 12 malam, dan bahkan sampai jam setengah enam subuh atau 5.30 pagi, semua buruh baru boleh pulang," ungkap RS.
Biasanya, lanjut RS, jam kerja dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 05.30 esok harinya, diterapkan perusahaan garmen tersebut pada hari Jumat. Sebab, Sabtu adalah hari libur para buruh, sehingga mereka baru boleh pulang, di pagi hari.
"Beberapa kali juga, hari Minggu, istri saya dan semua buruh diminta masuk. Kalau enggak, ya kena marah dan bisa diberhentikan," cetus RS.
Menurutnya, meski mengikuti aturan tak manusiawi pihak pabrik garmen, upah atau gaji istrinya selalu tetap, yakni sebesar Rp 2.750.000 per bulan. Besaran ini jauh dari Upah Minimum Regional (UMP) Kota Depok 2017, yang ditetapkan sebesar Rp 3,2 juta.
"Berarti, kerja dari pagi ketemu pagi atau sampai tengah malam itu, tidak ada uang lembur sama sekali. Ini benar-benar tak manusiawi," ucap RS.
