Banjarmasin Post Edisi Cetak
Kisah Tanggui, Caping Khas Banjar dan Nasib Para Pembuatnya Kini
Sejumlah perempuan pedagang mengenakan penutup kepala yang terbuat dari daun nipah kering berbentuk setengah lingkaran tampak di pasar terapung Lokbai
“Kami di sini hanya membuat setengah jadi, karena kalau ingin membuat tanggui yang jadi dan siap pakai, perlu modal tambahan hingga Rp 500 ribu untuk beli latung,” paparnya.
Latung adalah semacam rotan, fungsinya mengikat tepi keliling tanggui. Seandainya produk Sariyah dan warga lainnya adalah berupa tanggui jadi, harga jual ke pengumpul bisa sampai Rp 20 ribu untuk model standar.
“Bahkan tanggui jadi yang diberi hiasan, harganya bisa sampai Rp 30 ribu. Keuntungan juga lebih bisa diharapkan,” ungkap Sariyah yang tidak tahu harus bagaimana caranya mendapat modal.
Bantuan pemerintah tidak pernah ia rasakan. Demikian pula pembinaan hampir tidak ada. Selama ini mereka hanya disuruh ikut pameran atau lomba kerajinan.
“Sebenarnya pembeli tanggui itu banyak. Selalu ada setiap hari karena dijual ke seluruh banua anam. Jadi harapan kami, ada perhatian yang lebih serius dari pemerintah. Selama ini kami bekerja perorangan, kalau ada pesanan besar, misal 200 tanggui, barulah kami berkelompok supaya cukup patungan modal,” tandasnya.
Hal sama dirasakan Halimah (40) yang menjadi perajin tanggui untuk membantu ekonomi keluarga. “Sebenarnya keuntungan didapat tidak memadai untuk beli kebutuhan dapur. Tapi ya, syukuri saja, asal bisa beli ikan untuk lauk sehari-hari,” katanya.
Sebagaimana perajin lainnya, setiap hari Halimah menjemur daun nipah. Jika tidak ada hujan, dalam sehari bisa kering. Kalau mendung apalagi hujan, bisa dua hari baru kering.
Daun nipah kering itu dipotong dan dirangkai menjadi empat bagian, kemudian disambung satu sama lain dan dibentuk dengan bingkai menjadi berupa setengah bola. Selanjutnya dijalin dengan tali karung plastik atau tali rapia. Tanpa finishing berupa memasang latung di sekeliling bundaran tanggui atau ornamen hias.
Para perajin tersebut tempat tinggalnya tak jauh dari Pos Polair. Kondisi ekonomi para perajin yang jauh dari kecukupan, mengundang perhatian para anggota Polair setempat.
Bripka Ronny Setiadi, Kepala Unit Patroli Multifungsi Polair, mengungkapkan, ia selalu mengingatkan perajin agar tetap melestarikan warisan budaya meski masih sulit memberikan rezeki yang diharapkan.
“Pesan kami, budaya jangan sampai hilang, ini sudah turun temurun. Teruslah berkarya untuk banua. Hanya saja kami pun prihatin melihat kondisi ekonomi mereka. Sebab itu kami ingin membantu mereka, insya Allah jika ada rezeki kami akan bantu permodalan semampunya,” paparnya. (*)
Berita inilah terbit di Banjarmasin Post edisi cetak hari ini, Rabu (29/3/2017)
Anda bisa juga mendapatkan berita-berita harian Banjarmasin Post dengan mengklik http://epaper.banjarmasinpost.co.id
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/bpost-cetak_20170329_105837.jpg)