DPR Vs KPK

IBARAT atlet, DPR vs KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) merupakan musuh bebuyutan. DPR diberi kekuasaan oleh Undang Undang,

Editor: BPost Online
Dok BPost
Pramono BS 

Oleh: Pramono BS

IBARAT atlet, DPR vs KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) merupakan musuh bebuyutan. DPR diberi kekuasaan oleh Undang Undang, KPK juga dapat kekuasaan dari UU plus dapat kepercayaan dari rakyat. Tak habis-habisnya mereka berseteru.

Kita masih ingat ketika KPK berupaya mengubah Undang Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK. DPR selalu mengatakan ingin memperkuat KPK tapi dalam draft perubahan RUU KPK yang dibuatnya menempatkan lembaga antirasuah itu bagai macan ompong saja. Misalnya penyadapan harus ada izin hakim, KPK tidak berwenang mekukan penuntutan, tidak perlu memiliki penuntut sendiri. Kasus-kasus dilimpahkan ke Polri dan Kejaksaan. Paling tragis, 12 tahun setelah RUU diundangkan, KPK harus bubar. Jadi bukan memperlemah lagi tapi membunuh.

Untung Presiden Joko Widodo masih berkomitmen menyelamatkan KPK sehingga rencana perubahan UU KPK terganjal.

Kemudian dimasukkannya delik korupsi dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) juga berpotensi memperlemah kedudukan KPK. Sebab dengan dimasukkannya delik korupsi dalam KUHP berarti korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa seperti sekarang. Dengan menjadi kejahatan biasa berarti tidak perlu hadirnya KPK, atau wewenang KPK akan banyak dikurangi.

Yang paling baru adalah lahirnya hak angket DPR terhadap KPK. Ini diawali ketika KPK rapat bersama Komisi III yang kini sudah bergulir. Saat itu saksi korupsi KTP elektronik Miryan Haryani (Hanura) sudah mencabut semua keterangannya di pengadilan. KPK menyatakan itu terjadi karena ada sejumlah anggota DPR yang meminta agar Miryam mencabut berita acara.

Tujuh partai yakni PDIP, Nasdem, Golkar, Hanura, PPP, Gerindra dan PAN mendukung angket. Tiga menolak yakni Demokrat, PKS dan PKB. Panita angket yang “mengadili” KPK sebagian juga mereka yang namanya disebut menerima aliran dana kasus KTP elektronik.

Yang menjadi tanda tanya adalah sikap Presiden Joko Widodo yang menolak menggunakan wewenang politiknya untuk melobi para pimpinan partai. Alasannya itu urusan legislatif dan dia tak ingin mencampuri. Padahal tidak susah kalau Jokowi mau. Bukankah mereka juga partai pendukung pemerintahan Jokowi. Apa ada agenda lain?

***

Sebanyak 132 ahli Hukum Tata Negara menyampaikan pendapat bahwa hak angket DPR pada KPK cacat hukum. Angket seharusnya dialamatkan pada pemerintah. KPK bukan bagian dari pemerintah. Obyek, subyek dan prosedurnya melanggar. Ini disampaikan ahli Hukum Tata Negara Prof Dr Mahfud MD yang mewakili rekan-rekannya.

Tapi DPR tetap jalan terus bahkan mendapat tambahan dukungan. Gerindra semula menolak kini bergabung. PAN dulu juga menolak tapi akhirnya masuk. Tapi diduga hanya emosional karena nama Amien Rais (pendiri PAN) disebut menerima aliran dana korupsi alat kesehatan yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan Dr Siti Fadilah Supari.

Partai pendukung angket harus siap-siap diadili rakyat pada Pemilu 2019. Apapun alasannya orang sudah menilai buruk terhadap DPR.

Hasil penelitian sebuah lembaga survei menyebutkan, 65 persen rakyat mendukung KPK dan hanya 6 persen mendukung DPR.

Di depan Kantor KPK, Kamis (15/6) ratusan orang berunjuk rasa mendukung KPK. Harapan rakyat tinggal pada Presiden Jokowi yang tegas mengatakan tidak ingin KPK dilemahkan. Memperkuat KPK versi DPR dan Presiden itu beda. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved