Bilik Asmara di LP Sukamiskin
Kalapas Dapat Imbalan Dari Suami Inneke Koesherawati yang Kelola Bilik Asmara Bertarif Rp 650 Ribu
Kalapas Dapat Imbalan Dari Suami Inneke Koesherawati yang Kelola Bilik Asmara Bertarif Rp 650 Ribu
BANJARMASINPOST.CO.ID - Mantan Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein mengambil untung berupa materi dari sejumlah narapidana kasus korupsi, termasuk suami Inneke Koesherawati, Fahmi Darmawansyah yang diketahui mengelola bilik asmara dan menyewakannya Rp 650 ribu.
Pembangunan bilik asmara di Lapas Sukamiskin, ruangan 2x3 meter tersebut tak lepas dari fasilitas yang diberikan bagi suami Inneke Koesherawati.
Namun ada timbal balik yang diterima Kalapas, dari mobil, tas Louis Vuitton, hingga dibayarkan menginap di hotel dari hasil suap narapidana.
Dalam sidang dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Rabu (5/12/2018), jaksa mengungkap Wahid Husein memberikan layanan berlebih untuk terpidana kasus korupsi, dari sel mewah, pengelolaan kamar kencan hingga jatah keluar tahanan.
Baca: Jawaban Kalapas Sukamiskin Soal Adanya Bilik Asmara Bertarif Rp 650 Ribu yang Dikelola Napi.
Baca: Artis & Model Seksi Ini Berminat Gunakan Bilik Asmara di Lapas Seperti Inneke Koesherawati
Baca: Bilik Asmara Bertarif Rp 650 Ribu Dikelola Suami Inneke Koesherawati, Jaksa KPK : Istimewa
Baca: Sudah Jadi Istri Irwan Mussry, Maia Estianty Sebut Pelakor Depan Dul Jaelani, Untuk Mulan Jameela?
Hubungan sejumlah terpidana kasus korupsi dengan Wahid Husein menganut prinsip simbiosis mutualisme, keduanya sama-sama menguntungkan.
Berikut sejumlah fakta layanan dan pemberian yang Wahid Husein dapatkan dan imbal balik bagi para penyuapnya.
Kamar mewah suami Inneke Kosherawati
Terpidana kasus suap pejabat Bakamla, Fahmi Darmawansyah, terlibat menyuap Wahid Husein saat menjabat Kepala Lapas Sukamiskin. Dalam kasus ini ia turut jadi terdakwa dan berkasnya dipisah dari Wahid Husein.
Berkat uang pelicin yang disodorkan kepada Wahid Husein, Fahmi mendapatkan fasilitas istimewa di antaranya kamar di luar standar kamar narapidana pada umumnya.
"Antara lain dilengkapi televisi berikut jaringan TV kabel, AC, kulkas kecil, tempat tidur spring bed, furniture dan dekorasi interior High Pressure Laminated (HPL). Fahmi juga diperbolehkan menggunakan telepon genggam (HP) selama di dalam Lapas," ujar jaksa KPK, Kresno Anto Wibowo, saat membacakan dakwaan.
Di lapas Fahmi memiliki asisten, Andri Rahmat, terdakwa kasus ini di berkas terpisah. Andri Rahmat merupakan terpidana kasus pembunuhan yang divonis 17 tahun penjara.
Fahmi juga didampingi asisten lainnya, terpidana bernama Aldi Chandra.
"Oleh Fahmi, masing-masing asisten digaji Rp 1,5 juta per bulan. Terdakwa selaku Kalapas Sukamiskin mengetahui berbagai fasilitas yang diperoleh Fahmi namun terdakwa membiarkan hal tersebut terus berlangsung. Bahkan Fahmi dan Andri diberikan kepercayaan untuk berbisnis mengelola kebutuhan para warga binaan di Lapas Sukamiskin, seperti jasa merenovasi kamar (sel) dan jasa pembuatan saung," ujar dia.
Fakta lain tak kalah mengejutkan, Wahid Husein membolehkan Fahmi membangun saung dan kebun herbal di areal lapas serta membangun ruangan berukuran 2 meter x 3 meter persegi yang dilengkapi dengan tempat tidur.
"Salah satunya untuk melakukan hubungan badan suami-istri, baik itu dipergunakan Fahmi saat dikunjungi istrinya maupun disewakan Fahmi kepada warga binaan lain dengan tarif sebesar Rp 650 ribu. Sehingga Fahmi mendapatkan keuntungan yang dikelola oleh Andri," ujar jaksa Trimulyono Hendardi.
Kemewahan yang didapat Fahmi, yaitu mudah berobat ke luar lapas. Seperti mengecek kesehatan rutin di Rumah Sakit Hermina Arcamanik atau di Rumah Sakit Hermina Pasteur.
Izin berobat dikeluarhan Wahid Husein, biasanya setiap Kamis.
Setelah berobat Fahmi tidak langsung kembali ke lapas melainkan mampir ke rumah kontrakannya di Perum Permata Arcamanik Blok F No 15-16 Sukamiskin, Pacuan Kuda, Bandung.
Ia baru kembali ke Lapas Sukamiskin pada Senin.
Segala keperluan untuk pelaksanaan izin berobat Fahmi ke luar lapas tersebut disiapkan oleh Andri Rahmat.
Wahid dibelikan tas Louis Vuitton
Fahmi Dharmawansyah pernah membelikan tas branded untuk Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami.
Cluth bag merek Louis Vuitton tersebut Fahmi titipkan melalui asistennya, Andi Rahmat, untuk kemudian diterima Hendry Saputra, staf umum merangkap sopir Wahid.
Wahid kemudian menghadiahkan tas tersebut sebagai kado ulang tahun kepada atasannya, Dirjen PAS Sri Puguh Budi Utami.
Setelah pembacaan dakwaan, hakim ketua Daryanto memberikan kesempatan kepada Wahid untuk mengomentari dakwaan jaksa.
"Saya mohon maaf, saya hanya manusia biasa, saya khilaf," ujar Wahid. Terdakwa dan tim pengacaranya tidak mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa.
Wahid menerima hadiah berupa uang dan barang bukan saja dari Fahmi tapi juga narapidana kasus korupsi lainnya, sebagian besar melalui Hendry, di mana berkas perkaranya terpisah.
Barang yang diterima Wahid di antaranya didapat dari Fahmi Darmawansyah berupa satu mobil jenis doubel cabin 4x4 merek Mirsibushi Triniton, sepasang sepatu boot, sepasang sandal merk Kenzo, satu clutch merek Louis Vuitton dan uang tunai Rp 39,5 juta.
Narapidana Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan memberi Wahid berupa uang totalnya Rp 63,3 juta.
Sedangkan dari narapidana Fuad Amin Imron, Wahid menerima uang jumlah keseluruhannya Rp 71 juta dan mendapatkan fasilitas dipinjamkan mobil Toyota Innova serta dibayari menginap di Hotel Ciputra Surabaya selama dua malam.
Total jumlah uang yang diterima Wahid Husein dari ketiga terdakwa itu yakni Rp 173 juta.
Suap uang dan barang mewah dari ketiga narapidana ini agar mendapatkan berbagai fasilitas istimewa di dalam lapas, termasuk penyalahgunaan izin keluar yang bertentangan dengan kewajiban Wahid.
Wahid didakwa melanggar Pasal 12 huruf b subsidair Pasal 11 Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruppsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Dua pasal di Undang-undang Pemberantasan Tipikor itu pada pokoknya mengatur soal gratifikasi pada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. Ancaman pidananya terendah 4 tahun dan paling lama 20 tahun. (*) (Tribun Jabar/Tribunnews.com)
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Mantan Kalapas Sukamiskin Penerima Suap: Sewakan Kamar Intim Narapidana Hingga Dibayari Kamar Hotel
