Opini Publik
Istilah Kafir dan Nonmuslim dalam NKRI
Penggunaan istilah kafir umumnya tertuju kepada mereka yang menolak dakwah dan menunjukkan sikap permusuhan terhadap umat Islam.
OLEH: AHMAD BARJIE B
Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari
(Komisi Informasi dan Komunikasi
MUI Kalsel)
BANJARMASINPOST.CO.ID - Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) belum lama tadi melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) 2019 yang berlangsung di Kota Banjar Jawa Barat.
Di antara masalah yang dibahas kali ini adalah sebutan “kafir” dalam NKRI. Apakah sebutan itu relevan untuk digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhirnya forum menyepakati, pemeluk agama selain Islam lebih tepat disebut nonmuslim, dan kedudukan mereka dalam NKRI adalah sebagai muwathin (warga negara) yang sama dengan semua warga negara lainnya, tanpa dibedakan agama, suku, ras dan golongannya.
Seperti biasa rumusan seperti ini pasti mengundang sikap pro dan kontra, baik di dalam forum Munas maupun di tengah publik. Tidak terkecuali, media online pun banyak menyajikan pendapat para netizen. Tulisan ini tidak memihak pendapat yang pro dan kontra, tetapi sekadar melempar pendapat dan wacana, yang siapa tahu bermakna bagi kita semua.
Tidak Pukul Rata
Alquran dan hadits bervariasi ketika menggunakan suatu istilah untuk suatu kalangan. Misalnya orang Islam, ada kalanya disebut muslim, mukmin, mukhlis, muhsin dan muttaqin, walaupun hakikatnya semuanya muslim. Begitu juga orang yang tidak beragama Islam, Alquran menyebutnya dengan istilah yang tidak sama, satu saat disebut musyrik, kafir, Yahudi, Nashara, Sabiin, Majusi dan Ahl al-Kitab.
Berkenaan dengan istilah kafir, di dalam Alquran memang banyak ditemui. Tetapi jika kita teliti lebih jauh karakteristik Alquran, penggunaan istilah kafir umumnya tertuju kepada mereka yang menolak dakwah dan menunjukkan sikap permusuhan terhadap umat Islam.
Misalnya sebutan kafir pada surah al-Kafirun (QS 109: 1-5), tertuju kepada kaum kuffar Quraisy yang memusuhi Nabi dan bersikap kurang ajar kepada beliau saw. Sebagai reaksi atas kekurangajaran kaum kafir Quraisy Allah saw menurunkan surah al-Kafirun.
Contoh lain sebutan kafir pada QS al-Baqarah ayat 6-7, ayat ini ditujukan kepada kaum Yahudi di Madinah.
Mereka ini semula mengikat perjanjian dengan Nabi dalam Piagam Madinah, tetapi kemudian dalam Perang Ahzab berkhianat kepada Nabi dan kaum muslimin. Mereka bersekutu dengan kaum Quraisy Makkah dan musuh Islam lainnya di Jazirah Arabia untuk sama-sama menyerang dan mengeroyok Nabi. Akhirnya mereka dihancurkan lewat badai/topan, sementara sekutu mereka pulang ke daerah masing-masing. Dan Allah menurunkan ayat di atas dengan memvonis mereka kafir karena mereka tidak pernah mau menaati perjanjian dan menolak diberi peringatan.
Tetapi dalam suasana tenang, damai, Allah swt menyebut nonmuslim itu dengan bahasa dan istilah yang lebih lembut, soft languages, yaitu ahl al-kitab untuk kaum Nasrani. Ini tampak dari kedatangan kaum Nasrani Najran yang datang ke Madinah untuk berdialog dengan Nabi tentang Ketuhanan Yesus. Nabi menerima mereka dengan ramah, dan dialog pun dilakukan di Masjid Nabawi yang mulia (QS Ali Imran: 59-64). Allah SWT juga mengakui bahwa orang-orang nonmuslim yang tidak memusuhi Islam itu sebagai orang-orang saleh, yaitu mereka yang tidak menyombongkan diri dan suka berkawan dengan orang-orang Islam (QS al-Maidah: 82).
Dari sedikit contoh di atas, tampak bahwa istilah kafir tidak tepat digunakan untuk semua kalangan di luar penganut agama Islam. Terlebih bila kita kembali ke asal bahasanya bahwa kafir itu bisa saja berarti tidak beriman dan tidak bersyukur atas nikmat Allah (Mahmud Yunus, 1972: 379). Semua penduduk Indonesia pada dasarnya percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, namun cara beriman (kultus) dan cara penyembahan (ritus) mereka tidak sama dengan Islam.
Apalagi jika istilah kafir kita gunakan untuk orang yang tidak bersyukur, maka pengertiannya lebih luas lagi. Seperti kalimat: lain syakartum la-azidan-nakum, walain kafartum inna azabi lasyadid (QS 14: 7). Istilah kafir di sini jutru juga berlaku untuk orang Islam yang tidak bersyukur atas nikmat Allah.
Bahkan ada juga hadits Nabi saw menyatakan, man tarakash-shalata muta’ammidan faqad kafara zhihara (barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, maka sungguh ia kafir yang nyata). Jika kita pakai istilah kafir di sini, betapa banyak orang Islam yang kafir, sebab hingga hari ini masih banyak umat Islam yang tidak shalat. Kementerian Agama mencatat, hanya 80 persen muslim Indonesia yang shalat, dan dari jumlah itu hanya 20 persen yang shalatnya baik dan benar, selebihnya shalat balang kambingan, amburadul, lalai, jauh dari khusyu’. Maukah kita sebut mereka juga kafir, tentu persoalannya makin panjang.
Mengingat tidak bisa dipukul rata, maka istilah nonmuslim untuk penganut agama selain Islam relevan digunakan, atau lebih relevan lagi langsung disebut nama agamanya. Istilah ini pada hakikatnya hanya sinonim dari istilah ghairul Islam, yaitu orang yang tidak memusuhi dan mengusir umat Islam. Penggunaan istilah nonmuslim semata dalam konteks menghargai dan menghormati eksistensi masing-masing penganut agama, dalam pergaulan sosial dan nasional. Bagi umat Islam tetaplah Islam yang diyakini tanpa ragu, sebab ia sudah merupakan agama yang final dan diridhai Allah (QS Ali Imran: 19 dan al-Maidah: 3). Sebagaimana penganut agama lain juga yakin agama merekalah yang benar.
Pergeseran dalam penggunaan istilah juga dilakukan oleh kalangan nonmuslim terhadap Islam. Ini terlihat misalnya dalam teologi Katolik atau Kristen. Dalam Konvesi Augsburg era Kaisar Karel V di Jerman tahun 1530, ditetapkan bahwa penganut keyakinan lain di luar Trinitas yang disepakati dianggap sesat, baik dalam rumpun Kristen maupun di luar. Mereka yang dikategorikan sesat meliputi golongan Manikheis, Valentinian, Arian, Eunomian, Samosatan dan kaum muslimin. Tetapi ketika diselenggarakan Konsili Vatikan II (1962-1965), di samping Gereja tetap bertahan dengan eksklusivisme Kristen, mereka juga memandang dengan sikap hormat agama-agama lain. Khusus kepada Islam dinyatakan: Gereja memandang orang-orang muslim dengan sikap hormat. Mereka juga menyembah Allah Yang Maha Esa, Maha Rahim dan Maha Kuasa, Pencipta alam semesta.