Opini Publik
Istilah Kafir dan Nonmuslim dalam NKRI
Penggunaan istilah kafir umumnya tertuju kepada mereka yang menolak dakwah dan menunjukkan sikap permusuhan terhadap umat Islam.
Bahasa Dakwah
Indonesia adalah negara damai, bukan perang. Meski saat ini sedang tahun politik menuju pemilu dan pipres di mana suasana politik meninggi, tetapi hakikatnya kita tetap negara damai, sebab naiknya suhu politik hanya temporal. Usai pilpres Insya Allah kita cooling down lagi.
Mengingat tidak adanya permusuhan mendasar, maka dalam hubungan dengan golongan nonmuslim, kita lebih bijak menggunakan bahasa dakwah, bukan bahasa hukum dan teologi. Para ulama, juru dakwah dan orang Islam awam, alangkah baiknya sama-sama menggunakan bahasa dakwah yang sifatnya merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, menggandeng bukan menendang, dan bukan pula menakut-nakuti sehingga orang menjauh.
Jika kita tidak bisa proaktif berdakwah, minimal di segi bahasa yang digunakan harus halus, sopan, menyentuh dan tidak mengandung stigma negatif yang mengakibatkan orang menjauh. Istilah kafir cenderung berisi stigma negatif, sehingga kurang kondusif untuk mewujudkan harmonisasi dan dakwah yang universal.
Keberhasilan dakwah Rasulullah sesungguhnya tidak terletak pada ujung mata pedang atau keberanian berjihad perang semata, tetapi juga karena keluhuran akhlak dan kehalusan budi bahasa beliau. Tak hanya muslim, bahkan kalangan nonmuslim pun menaruh hormat, menghargai dan bersedia bergandeng tangan. Tak sedikit yang semula hatinya keras bagai batu, akhirnya luluh dan rela menerima Islam sebagai jalan hidupnya menuju keselamatan dan kebahagiaan sejati dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. (*)