Kriminalitas Regional

Saat Perusuh Bakar Kota Manokwari, Pengusaha dan 8 Karyawannya Sembunyi 3 Jam di Kamar Mandi

Munculnya aksi unjuk rasa di berbagai wilayah provinsi Papua dan Papua Barat untuk menentang dugaan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur

Editor: Didik Triomarsidi
AFP/STR
Warga pengunjuk rasa turun ke jalan dan berhadapan dengan aparat keamanan di Manokwari, Papua, Senin (19/8/2019). Aksi yang diwarnai kericuhan itu terjadi menyusul protes penangkapan mahasiswa Papua di sejumlah wilayah di Jawa Timur. 


Aparat TNI AD sedang membersihkan pecahan kaca yang masih berserakan di ruas Jalan Yos Sudraso, pasca-kerusuhan di Manokwari, Selasa (20/8/2019). KOMPAS.com/BUDY SETIAWAN (Kompas.com/Budi Setiawan)

Baru pada hari Rabu atau dua hari setelah peristiwa, Parnadi bersama pegawainya, yang ia sebut masih trauma, mulai memperbaiki kiosnya yang rusak.

Penjarahan juga dialami Katirin, pria paruh baya asli Blitar yang besar di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ia mengaku sudah tinggal di Manokwari selama enam tahun terakhir sebagai buruh bangunan.

"Sebenarnya saat kejadian itu kita inginnya keluar dari Manokwari," ungkap Katirin saat ditanya apa yang ada di benaknya ketika demo berujung ricuh Senin lalu.

"Jujur saja, seandainya saya punya uang, lebih baik saya pulang kampung ke Sulawesi," tambahnya, "akhirnya terjadi begini, jujur saja saya ngedrop."

Ia tidak menyangka tempat tinggalnya di Jalan Gunung Salju, Manokwari, yang menurutnya tidak berada di lokasi utama, turut menjadi target.

Pasalnya, menurut Katirin, sebelum peristiwa tersebut ia merasa aman berada di Manokwari. Bahkan, ia merasa dilindungi masyarakat setempat.

"Saat saya kerja proyek di pedalaman, itu dia sambut kita juga dengan baik walaupun kita pendatang," tuturnya.

"Malah kita merasa dilindungi, maksudnya, kalau ada yang korek kita, itu malah kita dibantu."

Sementara itu, salah seorang warga asli Papua yang tinggal di Kampung Bugis, Distrik Manokwari Barat, Omson Kirmai, terkejut dengan pemandangan yang ia lihat di kampungnya di hari unjuk rasa berlangsung Senin lalu.

"Saya kaget, terus saya lihat dari sini juga ada orang angkat alat-alat tajam, pisau, parang kayu, 'ini ada apa ini?'," tutur Omson.

Ia mengaku tidak menyangka aksi tersebut terjadi di kampungnya yang notabene menjadi tempat bermukim banyak warga pendatang asal Makassar.

"Selama di sini hubungan saya dengan masyarakat orang Bugis di sini aman," ujarnya.

Omson, yang berasal dari suku Arfak, menyayangkan aksi yang menciptakan ketegangan di masyarakat tersebut. Baginya, meski mereka berbeda ras, "kekeluargaan jadi lebih penting, lebih utama".

Ia lantas mengajak warga asli Papua untuk tidak melakukan hal-hal seperti yang terjadi pada aksi yang berakhir ricuh tersebut.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved